Belenggu Adiksi

Matahari bersinar cerah, namun panasnya tidak terlalu menyengat seperti biasanya. Angin berhembus sepoi-sepoi, memberikan atmosfer yang menyejukkan suasana. Tidak ada awan gelap yang berkumpul seperti hendak demo, menandakan hujan tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Singkat cerita, hari itu adalah hari yang indah.

Anda sedang duduk santai sambil bercengkerama bersama teman-teman anda di luar ruangan. Karena pengaruh cuaca yang cerah, mood anda dan teman-teman sedang bagus-bagusnya. Obrolan santai mengalir. Tidak ada topik pembicaraan yang suram seperti, "Gimana penyakit berat temen lu itu, kapan hidupnya berakhir?" atau, "Gimana, lu masih gak enjoy ama kerjaan lu? Kapan lu rencananya mau dipecat?" ataupun, "Menurut lu kapan kira-kira dunia ini akan kiamat?" Tidak ada juga percakapan yang sensitif seperti, "Kapan lu rencananya mau ngelamar cewe lu?" padahal sang penanya tau kalau temannya itu bahkan masih jomblo. Di antara teman-teman anda bahkan ada seorang wanita yang anda sukai, dan suasana yang mendukung membuat anda siap menarik perhatiannya dengan kalimat-kalimat sok pintar dan teknik-teknik flirting teranyar.

Di tengah kenyamanan itu, tiba-tiba anda mencium bau yang menyengat dan merangsang refleks batuk anda. Anda melihat ke arah teman-teman dan ternyata mereka juga menunjukkan ekspresi bingung yang sama dengan anda. Kemudian anda melihat sekitar dan ternyata menyadari kalau orang yang duduk di meja sebelah sedang asyik mengepulkan asap rokok dari mulutnya.

Insting primitif mendorong anda untuk segera mendaratkan sekepal tinju di pipi orang tersebut, tapi kemudian anda teringat dengan mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila berjudul "Etika Dasar Bermasyarakat 101" dan juga Pasal 352 KUHP, membuat anda mengurungkan niat tersebut. Alih-alih, anda mencoba berdialog sopan dengan sang perokok tersebut.

Anda     : "Permisi pak, bisa tolong anda matikan rokok anda?"
Perokok: "Lho, kenapa emangnya?"
Anda     : "Kebetulan anginnya bertiup ke arah meja kami, jadi asap rokok bapak sangat mengganggu kami."
Perokok: "Yah terus, apa urusannya ama saya, salahkanlah angin yang berhembus."
Anda     : "Wah enggak bisa dong pak, arah angin berhembus kan Tuhan yang atur, kalau saya salahin angin, berarti saya salahin Tuhan dong. Kalau salahin Tuhan kan saya dosa, jadi mendingan saya salahin bapak aja."
Perokok: "Wah enggak bisa gitu dek, asap rokok saya kan hanya mengikuti arah angin, seperti lagunya Mr. Big yang judulnya 'Goin' Where The Wind Blows'."
Anda     : "Wah bapak ternyata demen lagu rock juga yah, sama dong kayak saya!"
Perokok: "Oh enggak dek, saya demennya lagu keroncong."
Anda     : "Oh gitu. Tapi kita bener-bener terganggu nih pak ama asap rokok bapak, coba bapak merokoknya di tempat lain aja deh, seperti di Timbuktu misalnya."
Perokok: "Wah ga bisa dek, ini kan negara bebas, lagian di sini ga ada tulisan 'Dilarang Merokok', jadi saya bebas merokok sesuka saya."

Merasa bahwa bapak itu memang benar, akhirnya anda dan teman-teman memutuskan untuk pindah tempat, menjauh dari asap rokok sang perokok tersebut. Tentunya sebelum berpisah anda mengucapkan salam perpisahan dengan sopan kepada bapak tersebut.

Anda     : "Ya udah deh kalo gitu pak, kita mau pindah tempat dulu nih, semoga bapak cepat menemui ajal yah."

"Dasar perokok!" itulah kata yang terlontar dari mulut anda saat sudah berada jauh dari sang perokok tersebut. Mood anda dan teman-teman sudah rusak. Tempat anda yang baru kurang nyaman dibanding tempat anda sebelumnya. Tapi hanya di tempat inilah anda terbebas dari jangkauan asap rokok tersebut. "Tuh orang demen amat sih ngisep racun!" "Tuh orang gak sayang yah bakar duit?" "Mau mati jangan ngajak-ngajak orang lain dong!" itu adalah kata-kata makian tambahan yang diucapkan oleh teman-teman anda.

Peristiwa seperti ini rasanya sudah tak asing di telinga kita. Walau Pemerintah sudah mengeluarkan peraturan yang membatasi kebebasan merokok, jumlah para perokok sepertinya tidak pernah berhenti bertambah. Sebagai non-perokok, tentunya kita bertanya-tanya, apa yang membuat orang-orang ini nekat untuk terus menghisap asap laknat itu, padahal mereka sudah tahu segala mara bahayanya. Dan asap rokok yang mereka hembuskan, tidak hanya berbahaya bagi diri mereka sendiri, tapi juga bagi orang lain yang berada di sekitar mereka, bahkan mungkin orang-orang yang mereka sayangi.

Perilaku ini tidak hanya terbatas pada rokok, tapi juga pada zat-zat lain seperti narkoba atau alkohol. Kedua zat itu adalah zat berbahaya bila digunakan dalam jumlah dan waktu pemakaian yang melebihi batas normal yang dianjurkan. Sama seperti rokok, banyak orang acap kali mengonsumsi kedua zat ini secara berlebihan walaupun mereka sudah tahu bahaya dari penyalah gunaan zat-zat ini.

Perilaku paradoks seperti inilah yang lazim disebut dengan adiksi, atau kecanduan. Sebelumnya saya ingin memberikan disclaimer bahwa saya tidak bermaksud untuk menjelek-jelekkan ataupun membela orang-orang yang terjebak dalam lingkaran setan adiksi. Lewat tulisan ini, saya hanya ingin mengajak anda untuk mengenal lebih dalam apa itu adiksi dan mengapa orang-orang bisa terjerumus ke dalam adiksi, sebelum anda menjatuhkan vonis.

Definisi lengkap dari adiksi dapat anda baca di Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association (APA), panduan resmi untuk semua penyakit kejiwaan yang digunakan di seluruh dunia. Tapi secara ringkas, ada beberapa poin penting menyangkut adiksi:
1. Adiksi disebabkan oleh multi-faktor, yakni genetik, lingkungan, dan fase perkembangan seseorang.
Contoh faktor genetik adalah, apabila orang tua anda adalah seorang penderita adiksi, peluang anda untuk menderita adiksi yang sama seperti orang tua anda menjadi lebih besar dibanding mereka yang bukan berasal dari orang tua penderita adiksi. Faktor-faktor lain seperti ras, etnik, dan kondisi mental juga mempengaruhi peluang anda jatuh dalam adiksi.

Faktor lingkungan seperti pola asuh, kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, teman-teman, paparan terhadap zat-zat terlarang, dan trauma fisik ataupun seksual yang mungkin pernah dialami juga mempengaruhi peluang seseorang jatuh dalam adiksi.

Yang dimaksud dengan fase perkembangan adalah, apabila anda pertama kali mencoba zat-zat adiktif pada usia remaja di mana kestabilan mental dan emosional anda masih sedang berkembang, kemungkinan anda untuk menjadi penderita adiksi akan menjadi jauh lebih besar.

Yang ingin saya garis bawahi adalah, tidak ada dari semua faktor yang disebutkan merupakan pilihan dari sang penderita adiksi. Tidak ada yang bisa memilih dilahirkan dari orang tua seperti apa ataupun dibesarkan di lingkungan apa.

2. Mekanisme patofisiologi adiksi secara ringkas adalah sebagai berikut.
Untuk memahami adiksi, kita harus memahami mekanisme "kebiasaan" terlebih dahulu. Kebiasaan terdiri dari tiga komponen: "pencetus", "tindakan", dan "hadiah". Contoh: kita merasa lapar (pencetus), kita makan (tindakan), dan kita merasa kenyang (hadiah). Perasaan kenyang setelah makan itu membuat kita menyadari kalau kita harus makan saat kita merasa lapar, dan siklus yang berulang tersebut pada akhirnya akan membentuk kebiasaan. Contoh lain: jatuh cinta pada seorang wanita (pencetus), mengungkapkan perasaan pada wanita yang kita sukai (tindakan), cinta kita berbalas (hadiah).

NB: Contoh yang terakhir sangat disederhanakan oleh penulis dan bahkan mendekati tahap imajinatif. Kenyataannya tidak sesederhana itu. Percayalah.

Sementara adiksi berasal dari "kebiasaan buruk". Mekanisme kebiasaan buruk hampir sama seperti mekanisme "kebiasaan", hanya bedanya pada kebiasaan buruk, "pencetus"-nya adalah hal negatif, seperti tekanan hidup, masalah yang berlarut-larut, ataupun cinta yang tak berbalas. Contoh: situasi rumah yang tak harmonis (pencetus); rokok, alkohol, atau narkoba sebagai bentuk pelarian (tindakan); perasaan nikmat/lega sementara (hadiah).

Yang menjadi masalah adalah bila hal negatif yang menjadi pencetus tidak kunjung terselesaikan, maka lama kelamaan tindakan pelarian yang dilakukan akan mempengaruhi neurotransmiter Dopamin di otak, dan mengubah fungsi bahkan struktur otak sehingga menjadi terikat dengan tindakan pelarian tersebut dan tidak bisa lagi merasakan kenikmatan dari hal-hal lain yang lebih positif seperti misalnya berolahraga, mencapai prestasi tertentu, ataupun melakukan kontak sosial.

Yang perlu saya garis bawahi adalah, semua mudarat yang terjadi semata-mata diawali oleh pencetus negatif, hal yang tentunya bukan merupakan keinginan sang penderita adiksi. Ya, memang tindakan pelarian yang negatif awalnya merupakan pilihan sang penderita, tapi pencetus negatif yang tak kunjung selesailah yang membuat sang penderita terus melakukan pelarian negatif itu sampai menjadi sebuah kebiasaan buruk, dan pada akhirnya, adiksi.

3. Lebih lanjut, otak yang sudah dalam pengaruh adiksi akan mengalami gangguan dalam fungsi-fungsi tertentu seperti pembelajaran, penilaian situasi, pengambilan keputusan, penanggulangan stres, daya ingat, dan pengendalian tingkah laku. Semua hal tersebut membuat mereka semakin kesulitan mengendalikan adiksi mereka dan bahkan acap kali sampai bermasalah dengan masyarakat ataupun otoritas hukum. Hal ini tentu akan semakin memperkuat siklus pencetus negatif-tindakan pelarian-hadiah semu, dan akhirnya menciptakan lingkaran setan adiksi yang sulit diputus.

Menilai dari ketiga hal tersebut, rasanya adil kalau dibilang bahwa penderita adiksi, sama seperti penyakit kejiwaan lainnya, adalah situasi yang tercipta bukan karena kapasitas mental yang lemah ataupun moralitas yang rendah dari para penderitanya, tapi semata karena banyak faktor yang sebagian besar di luar kuasa sang penderita.

Saya sendiri sudah sejak lama jatuh dalam adiksi menonton televisi (TV). Setiap ada masalah yang terjadi pada saya sejak kecil, karena kurangnya bimbingan keluarga dalam manajemen stres dan juga kepribadian saya yang memang melankolis-phlegmatis dan sukar menyelesaikan konflik, membuat saya memilih masuk ke dunia semu televisi untuk lari dari semua masalah dan kenyataan hidup. Sama seperti adiksi lainnya, tentu ada efek negatif dari kecanduan menonton TV tersebut. Saya selalu lebih memilih untuk menonton TV daripada melakukan kontak sosial ataupun aktivitas produktif lainnya. Kontak sosial hanya akan menimbulkan konflik baru di mana saya juga tidak tahu cara menyelesaikannya, dan aktivitas produktif memiliki resikonya sendiri, sementara dalam dunia khayalan TV, saya akan selalu aman dan bahagia, begitu pikir saya dahulu. Baru di usia sekarang saya menyadari hal tersebut dan akhirnya berhasil lepas dari kecanduan menonton TV dan bahkan menemukan cinta sejati saya, yaitu dunia literatur dan sastra.

Mungkin andapun juga terjebak dalam siklus adiksi, tanpa anda sadari. Mungkin anda kecanduan belanja, anda merasa bahwa makin banyak barang yang anda miliki akan membuat anda melupakan masalah lain yang seharusnya anda hadapi? Mungkin anda kecanduan penghargaan dan pengakuan dari orang lain? Mungkin anda kecanduan rasa sayang dari lawan jenis, sampai anda lupa bahwa anda hanya butuh satu cinta sejati dalam hidup anda? Mungkin anda kecanduan berada di zona nyaman, sampai anda tidak berani mengambil resiko untuk menempuh jalan yang merupakan panggilan hidup anda sebenarnya? Mungkin anda kecanduan prokrastinasi, internet, media sosial, ataupun pornografi?

Yang ingin saya sampaikan lewat tulisan ini adalah, sebelum anda menghakimi atau mencap negatif para pecandu rokok, alkohol, ataupun narkoba, berkacalah dulu pada diri anda sendiri. Mungkin anda juga menghadapi masalah yang tidak jauh berbeda dari mereka, hanya berlainan bentuk dan rupanya saja. 

Kalaupun anda terganggu dengan perilaku adiksi dari seseorang yang anda kenal, daripada hanya menyematkan stigma negatif ataupun mengata-ngatai di belakang mereka, tindakan yang tidak akan menolong siapapun atau merubah keadaan apapun, lebih baik anda bantu mereka keluar dari belenggu adiksi itu. Ingat, seseorang bisa terperangkap dalam lembah adiksi bukan karena pilihan atau keinginan mereka, tapi seperti yang sudah dijelaskan di atas, lebih karena adanya pencetus negatif atau masalah yang tak kunjung terselesaikan. 

Gunakan energi dan sumber daya yang anda miliki untuk membantu mengatasi masalah dasar yang menjadi pencetus mereka jatuh dalam adiksi. Berdialoglah secara terbuka dengan mereka, pandang mereka sebagai teman atau klien anda, seseorang yang mempunyai banyak potensi besar yang saat ini belum terlihat karena terkubur dalam kubangan lumpur adiksi. Tanyakan dan dengarkan masalah dan keluh-kesah mereka, alih-alih memberondong dengan penghakiman dan pernyataan negatif yang sudah anda siapkan bahkan sebelum anda memahami masalah mereka. Adiksi bukanlah kesalahan individu, tapi merupakan penyakit sosial, dan demikian pula, hanya dukungan sosial-lah yang dapat menolong seseorang terbebas dari belenggu adiksi.

Ingatlah, apa yang anda tabur, akan anda tuai. Siapa tahu pecandu yang berhasil anda tolong, pada gilirannya akan menolong anda terbebas dari belenggu adiksi anda sendiri. Dan hanya dengan terlepas dari jerat adiksi-lah anda akan dapat mencapai kepuasan dan kebahagiaan sejati di hidup anda.

Comments

Popular posts from this blog

Bad Virus, Good Virus

Saya Seorang Rasis

Just Say No, Goddammit!!!