Just Say No, Goddammit!!!

Sebelumnya harus saya bilang, seperti yang tersirat di judulnya, tulisan ini akan menjadi salah satu tulisan saya yang paling emosional. Karena itu harap maklum bila di tulisan ini banyak kata-kata kasar dan juga campur aduk antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Biasanya saya akan mengambil waktu untuk menyortir dan memoles setiap kata dan kalimat di tulisan saya supaya sempurna (untuk yang belum tahu, saya adalah seorang perfeksionis patologis), tapi kali ini saya tidak sempat untuk melakukan itu karena sekali lagi, i'm just too emotional, goddammit!

Saya juga sebelumnya harus memberikan disclaimer kalau tulisan saya ini akan menceritakan beberapa orang yang sama sekali bukan fiktif dan memang ada di kehidupan saya. Tapi saya sama sekali tidak bermaksud menjelekkan atau merendahkan orang-orang tersebut. Tujuan penyebutan orang-orang tersebut hanyalah karena saya ingin menceritakan kenyataan yang memang terjadi di hidup saya sesuai apa adanya, tanpa dibumbui embel-embel atau dikurang-kurangi sedikitpun, mengeluarkan uneg-uneg, dan sekaligus menjaga kewarasan saya. Jadi sekali lagi, mohon sikapi tulisan ini dengan bijak (dan semoga orang yang bersangkutan tidak membaca blog ini).

Beberapa tahun minggu belakangan ini, karena kondisi mental saya, saya banyak menghabiskan waktu di kamar rumah dan merenenungi serta meratapi hidup. Tapi di sela-sela renungan dan ratapan itu, saya juga menghabiskan waktu dengan hal-hal berguna seperti membaca buku atau menonton video-video Youtube yang edukatif dan inspiratif. Akhir-akhir ini saya banyak menonton video tentang pengembangan diri, bagaimana cara untuk mengatasi depresi, fobia sosial, serta cara meningkatkan kepercayaan diri dan teknik bersosialisasi, dan kebetulan tadi siang saya menonton video ini dan ini.

Agar dapat mengerti jalan cerita tulisan ini, saya sarankan anda meluangkan waktu beberapa menit untuk menonton video tersebut sebelum melanjutkan membaca. Secara garis besar, video ini menjelaskan tentang pentingnya berkata tidak untuk hal yang tidak kita suka dan speak up untuk diri kita sendiri supaya orang lain tidak memperlakukan kita dengan semena-mena.

NB: Saya sangat menyukai channel ini, karena beda dengan channel-channel self improvement lainnya, sang pembicara tidak menggunakan istilah-istilah atau teknik-teknik rumit yang kenyataannya juga susah dipraktekkan. Sang pembicara menggunakan bahasa yang sederhana, tidak berbelit-belit, mudah dipahami, serta masuk akal dan logis. Dan yang paling penting, beliau juga menghadapi masa lalu yang serupa dengan saya, yaitu tumbuh di keluarga yang cenderung abusif dan broken home, dan akhirnya tumbuh sebagai pemuda yang memiliki kepercayaan diri dan harga diri yang rendah. Jadi dia tidak hanya menyajikan teori, tapi dia sendiri pernah mengalami dan akhirnya berhasil keluar dari situasi tersebut. Jika anda memiliki isu yang serupa, saya menyarankan anda untuk melihat-lihat channel tersebut. Sekian promosi gratis dan sekarang kembali ke topik.

Setelah melihat video tersebut, mungkin anda berpikir, "Apa hebatnya sih? Ini hanya tentang pentingnya berkata, 'Tidak.' Apa susahnya? Pfft." Jika demikian, selamat, berarti anda sudah memiliki sikap asertif dan tidak memiliki kesulitan dalam kehidupan sosial. Sayangnya, saya tidak seberuntung anda, dan apa yang mudah untuk anda, belum tentu mudah untuk orang lain. Dan anda akan kaget betapa hal yang tampak kecil dan sederhana dapat menjadi masalah kompleks dan serius jika tidak diperhatikan dengan seksama.

Tak lama setelah menonton video itu, saya melakukan rutinitas saya yang lain di tengah perisolasian ini, yaitu bermain Quizarium di apps Telegram. Quizarium adalah game di mana admin/bot akan memberikan pertanyaan seputar pengetahuan umum dan anda harus adu cepat dengan peserta yang lain dalam menjawabnya. Pertanyaan akan muncul terus-menerus, 24/7, non-stop. Kapanpun anda ingin mengasah perbendaharaan pengetahuan umum anda, anda tinggal buka smartphone anda dan bermain. Game ini sangat cocok untuk anda yang gemar berprokrastinasi, sedang tidak ada kerjaan, hanya ingin ber-autis ria, atau sedang tinggal dalam pengasingan.

Game ini memiliki fitur skip. Jadi apabila anda merasa sama sekali tidak tahu jawaban dari sebuah pertanyaan, anda tidak perlu menunggu 30 detik sampai pertanyaannya berganti. Anda hanya perlu mengetik skip dan pertanyaan akan segera berganti ke pertanyaan selanjutnya. Tentunya akan sangat merugikan orang lain dan mengganggu jalannya permainan jika siapapun dapat mengetik skip dan pertanyaan akan langsung berganti, itulah kenapa harus ada minimal dua orang yang mengetik skip untuk dapat berganti pertanyaan.

Jadi tadi siang saya sedang bermain seperti biasa. Tiba-tiba, ada dua peserta yang terus mengetik skip di setiap pertanyaan yang mereka tak bisa jawab (bisa dibilang hampir semua pertanyaan), sehingga orang lain tidak sempat untuk berpikir dan mencoba menjawab karena pertanyaannya keburu berganti. Hal ini bukan baru kali ini terjadi, tapi biasanya tindakan amoral seperti ini hanya dilakukan satu orang sehingga pertanyaan tetap tidak berganti (butuh minimal dua orang yang mengetik skip). Tapi kali ini, dua orang ini begitu kompak dalam mengetik skip sehingga pertanyaan terus berganti. Dalam dunia maya, dua orang ini disebut sebagai trollers. Sementara dalam dunia nyata, dua orang ini disebut sebagai asshole.

Anehnya, tidak ada yang mencoba menghentikan mereka. Peserta lain tampaknya membiarkan saja aksi kedua orang begundal ini walaupun saya yakin mereka sebenarnya juga terganggu dengan hal ini. Dan di sinilah cerita dimulai.

Tiba-tiba, saya seperti melihat flashback seluruh kehidupan saya. Tidak seluruhnya sih, tapi hanya bagian di mana saya tidak bisa speak up untuk diri saya sendiri dan membiarkan orang lain memperlakukan saya dengan tidak adil (di mana sangat sering dan bisa dibilang hampir seluruh hidup saya). Saat orang menyerobot saya ketika sedang mengantri. Saat motor menabrak mobil saya dan saya yang harus membayar ganti rugi. Saat orang (bahkan juga keluarga atau teman saya sendiri) mengatai saya dan saya hanya terdiam, tidak membalas apa-apa dan membiarkan orang tersebut menginjak-injak saya. Saat orang, sengaja atau tidak sengaja, berkata hal yang sangat menyinggung saya dan saya hanya berdiam, menelan ucapan tersebut dan memendamnya dalam hati. Saat saya ingin menyampaikan keinginan, pendapat, atau ketika saya ingin mendekati seorang perempuan, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut saya. Semua hasrat dan antusiasme saya pendam dalam hati.

Tapi kali ini, entah karena efek adrenalin setelah menonton video di atas atau karena apa, saya memutuskan untuk membuat perubahan. Saya mengambil tindakan. Setelah beberapa lama kedua trollers ini tidak juga menghentikan ulahnya, saya segera mengetik, "Hei, pertanyaannya jangan di-skip terus dong!" (Disclaimer: untung ini hanya di medsos, kalau ini di dunia nyata, belum tentu saya berani) Hanya satu kalimat sederhana, dan mereka segera menghentikan ulah mereka. Tentu bukannya tanpa reaksi sama sekali karena setelah itu, setiap saya berhasil menjawab pertanyaan, mereka akan segera mengetik, "F*ck you!" Tapi permainan jadi bisa berlangsung normal lagi, dan tak lama kedua trollers itu pergi meninggalkan permainan. Dan saya bisa kembali ber-autis ria lagi.

Jujur, jika saya belum menonton video di atas, dan mata saya belum tercelikkan, saya akan diam saja dan membiarkan kedua trollers itu merajalela. Mungkin akhirnya sayalah yang jadi berhenti bermain dan saya terpaksa harus mencari aktivitas lain untuk ber-autis ria. Menyedihkan? Sangat. Tapi itulah kenyataannya, dan saya amat membenci diri saya sendiri akan hal itu. Tapi apakah hanya saya yang memiliki sifat menyedihkan ini? Saya rasa tidak, terbukti peserta lain pun tidak ada yang menghentikan kedua trollers ini. Tak lama setelah saya mengetik kalimat heroik tersebut, ada peserta perempuan yang me-message saya, "Terima kasih." Inilah pertama kali seseorang mengucapkan terima kasih kepada saya karena berani speak up untuk hal yang benar (walau hanya di medsos, dan hanya dalam sebuah game). Segera saya screenshot message tersebut, saya print, dan saya pajang di dinding kamar saya.

Tidak lama kemudian, ayah saya pulang. Dia baru saja mengunjungi tante saya yang sakit kanker stadium terminal dan usianya hanya tinggal hitungan hari. Saat sedang menceritakan tentang aktivitasnya hari itu, tiba-tiba keponakan saya yang masih berumur 5 tahun datang. Dia segera menghampiri ayah saya dan merengek minta pergi ke mall, terlepas dari fakta bahwa jam di dinding sudah menunjukkan pukul 9 malam. Big deal, right? Namanya juga anak kecil, wajar kalau suka merengek dan permintaannya tidak masuk akal. Tapi yang ingin saya sorot di sini bukan keponakan saya, tapi ayah saya.

Bila anda menjadi ayah saya, kira-kira apa yang akan anda lakukan? Sangat mudah, bukan? Tentu anda akan segera menyuruh keponakan tersebut untuk berhenti merengek, serta memberinya pengertian kalau sekarang sudah malam dan kalaupun ingin pergi ke mall baru bisa besok siang. Tapi tidak dengan ayah saya. Dia hanya diam saja, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Padahal keponakan saya ini rengekannya makin lama makin kurang ajar. Tangisnya semakin keras dan dia semakin berani memukul-mukul ayah saya. Sementara ayah saya? Tetap terdiam dan pura-pura tidak mendengar. Sesekali bahkan beliau mencoba untuk pindah tempat duduk dan mencoba mengajak ngobrol anggota keluarga yang lain, mungkin dengan harapan bisa mengalihkan perhatian si keponakan. Tapi keponakan saya yang satu ini memang sangat keras kepala, dia mengikuti ayah saya kemanapun pergi dan rengekannya semakin keras. Tidak sekali pun saya melihat ayah saya menunjukkan sikap tegas, atau ada kata "Tidak!" yang keluar dari mulutnya.

Mungkin anda berkata, "Big Deal! Namanya juga cucu sendiri, pasti ayah kamu gak tega lah!" Okay kalau begitu, saya akan melanjutkan cerita saya. Saat keponakan saya tersebut melakukan serangan, ayah saya sedang bercerita tentang kondisi tante saya. Sebelumnya harus saya beri tahu kalau tante saya ini masih seorang bujang lapuk alias belum pernah menikah. Dalam beberapa dekade terakhir hidupnya, dia melewati hari-harinya dengan ditemani oleh seorang perempuan, katakanlah namanya Tt. B.

Sebelumnya mari kita uji kemampuan kuis trivia anda. Seorang perempuan usia lanjut, belum menikah, dan umurnya tidak lama lagi, apa yang akan menjadi bahan perbincangan utama seluruh keluarga? Yak, tepat sekali kalau anda menjawab, masalah warisan.

Sudah banyak anggota keluarga saya yang tidak senang dengan Tt. B karena walaupun dia orang asing, tapi seringkali dia memposisikan dirinya sebagai anggota keluarga. Dia sering kali ikut campur ketika tante saya membicarakan masalah pribadi seperti harta keluarga, dll. Saya sendiri tidak menyalahkan dia, karena tante saya sendirilah yang mengizinkan hal tersebut untuk terjadi. Singkat cerita, Tt. B adalah persona non grata di lingkungan keluarga saya.

Beberapa tahun terakhir ini, Tt. B juga lah yang rutin mengurus tante saya sejak beliau terdiagnosis kanker. Tt. B ini memang orangnya pintar berbicara dan pintar mengambil hati orang. Terutama orang yang berasal dari keluarga yang kurang solid seperti tante saya. Akhirnya hal yang tampaknya memang direncanakan Tt. B sejak awal berhasil, karena beberapa hari yang lalu, tante saya resmi menyerahkan seluruh harta warisannya kepada Tt. B ini, orang yang bahkan bukan anggota keluarga sendiri. Singkat cerita, Tt. B adalah persona really non grata di lingkungan keluarga saya.

Sekarang mari kita kembali ke saat ini, di mana ayah saya sedang diserang oleh keponakan saya. Ayah saya sedang bercerita tentang kejadian di Rumah Sakit. Tante saya akhirnya memasuki fase kritis dan harus masuk ICU. Yang membuat saya geram mendengarnya adalah, saat pihak RS menanyakan berapa lama tante saya ingin dirawat di ICU jika dia sudah tidak bisa lagi membuat keputusan untuk dirinya sendiri, Tt. B dengan gagah berani menjawab, "Gak apa-apa dok, rawat aja di ICU selama dibutuhkan." Padahal tante saya sudah tidak ada uang sepeser pun dan yang harus membayar semua pengeluarannya selama di ICU adalah ayah saya, bukan Tt. B. Dilihat dari segi medis pun, sebenarnya tidak terlalu bermanfaat untuk mempertahankan tante saya di ventilator karena kondisinya memang sudah terminal. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah melepas kepergiannya dengan ikhlas.

Ayah saya kesal ketika di Rumah Sakit mendengar hal tersebut tapi dia tidak berani angkat bicara sedikitpun, dia hanya terdiam ketika Tt. B melakukan aksi sok heroiknya. Dan seperti biasa, ayah saya melampiaskan kekesalannya di rumah, kepada anggota keluarga, dan kekesalannya tidak berpengaruh banyak sekarang. Dia tetap harus membayar semua biaya ICU tante saya.

Mungkin anda berkata, "Big Deal! Yah mungkin ayah kamu emang masih sayang ama tante kamu!" Okay mungkin anda ada benarnya juga. Tapi yang ingin saya sorot di sini bukan masalah uang atau apapun, tapi tampaknya saya tidak pernah melihat ayah saya bersikap tegas dan berani berkata tidak serta speak up untuk dirinya sendiri.

Ayah saya selalu marah kalau ada orang yang parkir mobil di depan rumah kami, karena amat mengganggu keluar masuk mobil kami sendiri. Setiap kali ayah saya selalu mengungkapkan kekesalannya tentang hal itu kepada kami semua. Tapi pernah suatu waktu saya melihat saat ayah saya sedang berada di luar rumah bersama asistennya, ada orang yang sedang memarkirkan mobilnya di depan rumah kami. Persis di depan mata kepala ayah saya! Orang tersebut bahkan sempat sambil senyum-senyum bertanya pada ayah saya, "Ini saya boleh parkir di sini gak yah?" Dan ayah saya bahkan menjawab boleh dengan ragu-ragu, sampai-sampai asisten beliau yang harus angkat suara dan melarang orang itu untuk parkir di situ dan segera menyuruhnya untuk memindahkan mobilnya.

Sejauh ini saya tampaknya perlu menekankan bahwa saya amat menyayangi ayah saya. Beliau adalah seorang ayah yang hebat, beliau telah berhasil menafkahi saya dan anggota keluarga yang lain, bahkan berhasil membawa anak-anaknya meraih gelar dokter. Tapi rasa sayang dan respect adalah dua hal yang amat berbeda. Manusia adalah makhluk yang kompleks dan tidak hanya memiliki kebutuhan jasmani tapi juga kebutuhan mental dan psikologis. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, dan kebetulan kekurangan ayah saya tidak menjadi masalah untuk kakak-kakak saya. Mungkin figur ketegasan yang ayah saya tidak miliki dapat mereka cari di tempat lain. Tapi sayangnya kekurangan ayah saya di bidang ketegasan itu amat berdampak bagi saya. Terlebih lagi saya sejak kecil lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan tidak ada sosok lain yang bisa menjadi panutan bagi saya dalam bersosialisasi selain orang tua saya. Maka semua yang ayah saya ajarkan pada saya menjadi ya dan amin bagi saya. Absolut. Tidak ada standar lain bagi saya dalam bersosialisasi. Jika ayah saya berkata, "Don't rock the boat!" Oke. "Simpan semua pendapatmu untuk dirimu sendiri!" Baiklah. "Jangan mengkonfrontasi orang lain, walaupun harga dirimu sedang diinjak-injak!" Siap. Mungkin ayah saya tidak secara harafiah mengajarkan hal tersebut, tapi sikap mentalnya terpancar dalam bahasa tubuhnya sehari-hari dan itulah yang saya tangkap. You just can't hide fear and insecurity.

Dalam hati saya, rasanya saya ingin melihat ayah saya mengambil sikap tegas dan berkata pada tiga orang di atas, "Lu kira ini sekarang jam berapa, dek? Besok siang aja kalau mau ke mall dan jangan sering-sering, opa capek!" "Kalo lu mau dia dirawat di ICU yah pake duit lu sendiri, kalo ga ada duit yah mending jangan banyak omong!" "Jangan parkir di depan rumah gua woy, lu kira ini gedung parkir?"

Dan sejak kecil, demikianlah sikap mental yang saya adopsi. Semua perlakuan buruk dan tidak adil, emosi, dan pendapat saya, saya pendam dalam-dalam. Tanpa saya sadari, semua sampah emosi dan mental yang menumpuk dalam diri saya menggerogoti jiwa dan pikiran saya secara perlahan. Awalnya bermanifestasi sebagai serangan panik, kemudian gangguan cemas, lama-kelamaan bermetamorfosis menjadi depresi dan paranoid, dan semakin susah dilacak akarnya.

Setelah mengonfrontasi sang trollers, saya merasa lebih baik terhadap diri saya sendiri. Saya merasa memiliki kontrol terhadap jalannya hidup saya dan semua yang terjadi di sekitar saya, alih-alih selalu merasa didikte oleh keadaan. Saya merasa lebih percaya diri. Saya tidak berani menjamin apakah paranoid dan semua masalah mental saya dapat selesai dengan tuntas, tapi yang pasti saya merasa lebih baik dari sebelumnya. Biar waktu yang menjadi sang penguji.

Amat penting bagi anda untuk dapat speak up bagi diri anda sendiri. Dunia adalah tempat yang kejam. Semua orang akan bersaing untuk mendapatkan keinginannya, bahkan mereka tak segan-segan merebutnya dari anda. Bukannya mereka jahat, tapi ini hanyalah insting dasar manusia untuk bertahan hidup. Survival of the fittest. Dulu orang tak segan-segan saling membunuh demi berebut lahan dan makanan. Sekarang semua orang berlomba-lomba untuk merebut uang dan kekuasaan. Tidak akan ada yang bisa speak up untuk anda selain diri anda sendiri.

Untuk menolong anda, orang lain membutuhkan persetujuan anda. Tapi tidak akan ada orang yang menunggu persetujuan anda untuk mengambil hak anda. Jadi bagaimana caranya mencegah orang lain menginjak-injak hak anda? Anda hanya perlu mengingat tiga mantra sederhana ini. Just. Say. No.

Comments

Popular posts from this blog

Balada Laptop dan Speaker

Pendapat Saya tentang Agama -Bagian 1-