Pendapat Saya tentang Agama -Bagian 2-
Dalam perang, Titus berhasil menangkap Joseph bar Mathias, seorang ahli agama bangsa Yahudi yang juga merupakan salah satu pemimpin pemberontakan. Di bawah ancaman eksekusi dan juga iming-iming imbalan yang menggiurkan, akhirnya ia membelot ke pihak Romawi dan mengganti namanya menjadi Flavius Josephus. Titus memerintahkan beliau untuk membuat kitab suci Yahudi yang baru dengan menyadur dari kitab suci Yahudi yang asli dan kemudian memolesnya agar sesuai dengan kepentingan Titus, kemudian menyebarnya ke seluruh bangsa Yahudi. Bangsa Yahudi tidak akan ada yang tahu karena semua kitab suci mereka sebelumnya sudah dihancurkan oleh Titus.
Kitab suci itu mengajarkan sebuah agama pasifisme yang mengajarkan pemeluknya untuk cinta damai dan tunduk pada otoritas yang memegang kekuasaan, dipimpin oleh seorang sosok karismatik bernama Yesus Kristus. Kitab inilah yang menjadi Perjanjian Baru di Alkitab umat Kristen. Itulah mengapa di Perjanjian Baru muncul frase seperti, "Kasihilah musuhmu," "Jika ditampar pipi kiri, berikanlah pipi kananmu," ataupun "Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi haknya." Hal ini merupakan ide yang brilian karena cara apalagi yang paling efektif untuk menang perang selain memberikan alasan kepada musuh untuk berhenti melawan.
Hal ini masuk akal apabila kita memahami konteks sejarahnya. Tidakkah aneh bila sebuah agama yang pasifis lahir tepat di tengah konflik yang sedang berkecamuk? Keanehan ini terbukti secara ilmiah setelah ditemukannya Dead Sea Scrolls pada tahun 1946 di tepi Sungai Yordan. Naskah ini diduga merupakan naskah bangsa Yahudi asli yang berhasil diselamatkan dari penghancuran Bait Allah pada tahun 70 AD. Sosok Mesias yang digambarkan di naskah itu adalah seorang prajurit yang akan menyelamatkan bangsa Yahudi lewat medan perang, bukan dengan aksi damai seperti yang Yesus ajarkan.
Lebih lanjut, sosok Yesus yang digambarkan di Alkitab sebenarnya merupakan karikatur dari Titus Flavius sendiri. Sosok Bapa dan Anak dalam TriTunggal tak lain dan tak bukan adalah Vesuvius dan Titus Flavius. Vesuvius sebagai pemimpin negara, sementara Titus yang berjuang di medan perang. Kisah perjalanan Yesus menyebarkan injil sampai akhirnya masuk Yerusalem merupakan metafora dari perjalanan Titus menaklukkan bangsa Yahudi sampai akhirnya berhasil menguasai Yerusalem. Tidak heran kalau ahli agama bangsa Yahudi (ahli taurat dan kaum farisi) di Perjanjian Baru kerap digambarkan sebagai sosok antagonis keras kepala yang selalu menolak ajaran Yesus yang cinta damai. Tiap kali umat Kristen berdoa pada Yesus, sebenarnya mereka sedang menyembah Titus Flavius.
Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa seluruh ajaran Kristen bersumber pada ilmu astrologi. Kisah-kisah di Alkitab penuh dengan simbol ilmu perbintangan. Yesus adalah personifikasi dari matahari dan kisah hidupnya merupakan metafora siklus matahari melewati berbagai konstelasi. 25 Desember-winter solstice, Bunda Maria-konstelasi Virgo, Judas Iskariot-konstelasi Scorpio, 30 keping perak-siklus bulan, Serdadu Romawi yang menusuk Yesus-konstelasi Sagittarius, 22 Desember (kematian Yesus)-matahari tertutup bintang-bintang lain, dan pada 25 Desember matahari muncul kembali, melambangkan kebangkitan Yesus dan siklus berulang kembali. Salib Yesus adalah salib zodiak sementara mahkota duri adalah metafora dari sinar matahari.
Lebih lanjut, lembu emas yang dihancurkan Musa adalah metafora dari berakhirnya era Taurus (4300-2150 BC). Domba dan gembala yang sering muncul di Perjanjian Lama adalah metafora dari era Aries (2150 BC-1 AD). Ikan yang sering muncul di Perjanjian Baru seperti di perumpamaan penjala ikan dan kisah lima roti dan dua ikan adalah metafora dari era Pisces (1-2150 AD). Dan simbol pembawa air seperti yang muncul di Lukas 22:10 melambangkan era Aquarius (2150-4300 AD) yang akan datang.
=================
Pernahkah anda merenungkan perkembangan peradaban manusia? Zaman dulu, flu dan tertusuk paku bisa membunuh anda. Sekarang, ayah saya yang menderita kanker stadium akhir bisa bertahan hidup dengan meminum kemoterapi dalam bentuk pil. Zaman dulu, orang tidak tahu kalau di seberang lautan ada manusia lain. Sekarang, saya bahkan bisa berkomunikasi dengan orang di benua yang belum pernah saya kunjungi melalui internet. Zaman dulu, orang hanya bisa menatap angkasa dan berimajinasi tentang dewa-dewi. Sekarang, Elon Musk dan Richard Branson berlomba-lomba untuk mengembangkan perusahaan pertama yang menjadikan luar angkasa sebagai destinasi wisata masyarakat luas. Pertanyaan saya adalah, di manakah peran agama dalam semua itu?
Apakah di Alkitab tertulis hukum gravitasi, kuantum mekanik, ataupun string theory? Apakah Alkitab mengajarkan cara membuat vaksinasi, bedah sesar, ataupun terapi gen? Apakah Alkitab berhasil meramalkan imperialisme, kapitalisme, ataupun era globalisasi? Alkitab bahkan tidak pernah menganjurkan untuk menghentikan perbudakan, praktik yang tentunya akan dianggap sangat barbar di zaman sekarang.
Pernahkah anda melihat betapa luasnya alam semesta ini? Mari kita lakukan eksperimen. Pergilah ke pantai terdekat. Sebelum anda mulai ber-selfie dan mengeposnya di Instagram, coba anda amati pasir di kaki anda. Sekarang coba anda ambil satu butir pasir. Sangat kecil bukan? Anda bisa membayangkan segenggam pasir atau secangkir pasir, tapi anda tak bisa memegang satu butir pasir. Sekarang coba anda ambil segenggam pasir dan hitung ada berapa butir pasir di situ. Sangat sulit bukan? Sekarang coba anda bayangkan jumlah pasir yang ada di bumi ini. Tentunya sangat banyak bukan? Well, jumlah bintang di luar angkasa yang berhasil terjangkau observasi manusia adalah 200 sextillion (nolnya ada 21) sementara jumlah pasir di bumi adalah 10 sextillion. Itu belum termasuk jumlah planetnya, dan itu belum termasuk alam semesta yang belum berhasil terjangkau observasi manusia. Menakjubkan, bukan?
Di sisi lain, jumlah atom yang terdapat pada sebutir pasir lebih banyak daripada jumlah seluruh bintang di alam semesta. Dalam konteks semesta, tiap diri kita begitu kompleks sekaligus tak signifikan di saat yang bersamaan.
Di benak saya, sosok yang mengaku merupakan pencipta atas seluruh semesta yang begitu megah ini pastinya sangat menakjubkan. Sementara sosok Tuhan yang didoktrinasi pada saya sejak kecil rasanya amat jauh dari yang saya bayangkan. Evolusi dan teori Big Bang lebih menjelaskan banyak hal ketimbang agama. Bagi saya, Alkitab dan Tuhan di dalamnya hanyalah sebuah mitologi yang digunakan untuk mengajarkan nilai moral kepada manusia, tidak lebih, dan tentunya bukanlah sosok ilahi yang benar-benar ada.
Mungkin anda bertanya, lalu mengapa Alkitab bisa begitu menyentuh saya? Mengapa saya bisa merasakan pengalaman pribadi bersama Tuhan? Itu adalah kekuatan dari story telling. Dan itu lebih banyak menjelaskan soal manusia ketimbang soal Tuhan.
Joseph Campbell, ahli mitologi yang terkenal lewat bukunya The Hero With the Thousand Faces (1949), mencoba menjawab pertanyaan yang sama. Di buku itu beliau membandingkan seluruh kisah mitologi dan religius dari seluruh dunia, dan menunjukkan bahwa ada kesamaan atau pola yang selalu muncul. Pola itu terkenal dengan sebutan The Hero's Journey, dan sampai sekarang pun, entah sengaja atau tidak, semua kisah yang populer dan berhasil merebut hati jutaan orang pasti menunjukkan pola ini di alur ceritanya. Mulai dari Lord of the Rings, Star Wars, The Matrix, sampai Harry Potter.
Seperti agama, kisah-kisah itu menyentuh hati dan emosi kita yang terdalam sehingga membuat kita merasa memiliki pengalaman dan kedekatan pribadi dengan kisah tersebut. Kita bisa mendiskusikan dan bahkan belajar tentang nilai-nilai moral lama setelah kita menonton atau membacanya. Jedi Knight bahkan telah menjadi sebuah agama yang memiliki banyak pengikut.
Tentunya kita tak akan mempercayai adanya persekutuan kaum manusia, elf, dan kurcaci dalam melawan naga ataupun iblis berbentuk mata raksasa di masa lalu. Kita juga tak akan percaya adanya kaum pemberontak luar angkasa yang mencoba meruntuhkan kekuatan Galactic Empire nun jauh di sana. Kita juga sulit untuk mempercayai adanya dunia magis yang penuh dengan sihir di mana seorang anak yang terpilih mencoba mengalahkan ambisi seorang penyihir jahat.
Kisah-kisah tersebut bisa terpatri di hati karena mereka secara simbolis menceritakan apa yang kita alami sehari-hari dalam hidup. Sama seperti para pahlawan ataupun tokoh religius, kita juga harus keluar dari zona nyaman, menghadapi tantangan dunia luar dengan bimbingan mentor atau teman, melawan ketakutan dan kelemahan dalam diri, dan akhirnya mengajarkan nilai atau pengalaman yang telah kita peroleh kepada orang lain, untuk bisa menjalani hidup yang utuh serta berkemenangan dan pada prosesnya menjadikan dunia tempat yang lebih baik. Kitalah pahlawan dalam hidup kita sendiri. Kita juga yang harus menceritakan kisah epik lewat hidup kita sendiri. Menurut saya pribadi, itulah esensi dari tiap agama dan kepercayaan.
Jika selama ini agama sudah berhasil menginspirasi anda untuk menjalani hidup seperti itu, selamat, dan silakan jalani hidup anda seperti biasa. Tapi bila selama ini anda merasa kalau agama menghambat anda menjalani hidup terbaik atau mengeluarkan potensi maksimal, atau malah justru membuat anda menyakiti sesama hanya demi sebuah kepercayaan buta, mungkin anda harus mempertanyakan kepercayaan anda. Hey, saya tidak bermaksud menghasut siapapun. Yang saya ingin bilang hanyalah, bagaimana kalau tidak ada kehidupan setelah kematian? Setelah mati yah anda mati. Sekian dan amin. Tidak ada surga, neraka, ataupun kehidupan kedua. Hanya kehampaan tak berujung. Yang anda punya hanyalah sekarang dan saat ini. Tidakkah sebaiknya anda menjalani satu-satunya hidup yang anda miliki sebaik mungkin?
Mungkin, agama diciptakan manusia karena hidup penuh dengan ketakutan dan ketidak pastian. Setiap saat kematian bisa datang menjemput lewat penyakit, alam, ataupun manusia lain. Kita merasa begitu kecil di semesta ini dan akhirnya kita mencoba merasionalisasi ketakutan itu dengan menciptakan dunia imajiner yang hanya bisa dicapai setelah meninggal. Kita begitu takut sampai lupa bahwa dunia imajiner tersebut hanyalah khayalan dan bukan kenyataan. Tidakkah lebih baik dan lebih masuk akal kalau kita mencoba mengalahkan ketakutan-ketakutan itu daripada hidup dalam fantasi?
Tidakkah menurut anda kekanak-kanakan kalau seseorang harus diiming-imingi dengan hadiah bombastis (hidup abadi di surga) sekaligus ditakut-takuti dengan ancaman yang tak kalah bombastis (hidup abadi di neraka) agar ia bisa memahami nilai kemanusiaan? Jika anda membutuhkan iming-iming imbalan ataupun ditakut-takuti ancaman untuk memahami moralitas, maka agama anda telah gagal mengajarkan anda moralitas.
Mungkin, beberapa abad atau milenium dari sekarang, manusia akan berhasil mengalahkan penyakit. Kanker dan penyakit-penyakit mematikan lainnya hanya akan ada di buku sejarah. Mungkin manusia akan berhasil membangun peradaban di bulan atau di planet lain. Mungkin pada saat itulah agama akan menjadi kadaluwarsa dan manusia menyadari bahwa mereka tidak butuh agama untuk menjadi manusia yang bermoral.
Sampai saat itu tiba, kalau agama masih memberikan kekuatan untuk menghadapi ketakutan-ketakutan yang belum bisa diatasi manusia, kalau agama masih memberikan manusia alasan untuk memegang nilai moral dan menghargai sesamanya, kalau agama masih memberikan anda alasan untuk menjalani hidup yang sulit ini dengan pengharapan akan hidup yang lebih baik setelah kematian, maka rangkullah agama. Percaya dan imani setiap pengajarannya. Jika agama berhasil membuat tante saya gagah berani menghadapi kanker stadium terminal, berarti agama masih relevan.
Saran saya hanyalah, ujilah kepercayaan anda. Inspeksi diri sendiri dan bercerminlah pada orang sekitar anda. Karena sebuah pohon hanya bisa dikenali dari buahnya.
Tulisan ini saya persembahkan untuk tante saya.
R.I.P Tante Ani,
di manapun tante sekarang berada...
Comments
Post a Comment