Pendapat Saya tentang Agama -Bagian 1-
Dua tahun yang lalu, tante saya didiagnosis menderita kanker. Beliau sudah mencoba segala macam pengobatan, tapi jenis kanker yang ia derita memang sangat ganas, dan akhirnya kanker tersebut masuk ke stadium terminal. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menyembuhkannya, yang bisa dokter berikan hanyalah terapi suportif untuk meringankan penderitaannya.
Tapi yang menarik perhatian saya, tante saya tampak sangat tenang dalam menghadapi penyakitnya. Melihat sekilas, terlepas dari badannya yang amat kurus dan wajahnya yang sangat pucat, dia tampak seperti orang sehat pada umumnya. Dia masih aktif menjalani hari-harinya dengan bekerja, mengunjungi teman, dan beribadah. Dia masih memiliki semangat dan gairah hidup. Baru beberapa bulan terakhir saat kanker sudah menjalar ke seluruh tubuh dan kondisinya teramat lemah, dia harus menghabiskan sisa waktunya di Rumah Sakit.
Saat menjenguk pun, pemandangan yang saya lihat tidak seperti yang saya bayangkan. Di foto CT-Scannya yang terakhir, terlihat kanker sudah menyebar ke paru-paru, hati, lambung, dan beberapa kelenjar getah bening. Dari pengalaman saya melihat pasien kanker stadium terminal seperti ini, biasanya kondisinya sudah amat buruk, fisik maupun mental. Pasien hanya terbaring diam, mungkin sambil berjuang mengambil nafas karena paru-parunya sudah dipenuhi sel-sel kanker, atau mungkin juga sambil berusaha menahan nyeri di seluruh tubuhnya. Tapi tidak dengan tante saya.
Saat masuk ruangan tempat beliau dirawat, terlihat ia sedang membaca Alkitab, sembari ditemani smartphone-nya yang kadang memainkan rekaman-rekaman khotbah, kadang mengalunkan lagu-lagu rohani. Beliau juga masih semangat mengajak ngobrol dan menyapa siapapun yang datang menjenguknya. Tidak terpancar sedikitpun ketakutan atau rasa cemas dari dirinya, walau tiap beberapa menit dia harus muntah karena lambungnya sudah habis digerogoti sel kanker. Pandangan matanya tidak hampa seperti pasien stadium akhir yang biasanya saya temui. Sebaliknya, matanya seolah menyiratkan sebuah pengharapan, seakan dia tidak sedang berjuang menghadapi akhir hidupnya, tapi justru sedang bersiap menjalani hidupnya yang baru akan dimulai. Hidup baru di tanah perjanjian yang sudah dijanjikan akan diberikan kepadanya sebagai seorang penganut Kristen yang taat. Tanah perjanjian yang keberadaannya melampaui segala akal dan ilmu pengetahuan manusia, dan hanya bisa dijangkau oleh mereka yang telah meninggalkan raganya di bumi. Sebuah hidup yang tidak saja lebih baik dari hari-harinya melawan kanker, tapi juga lebih baik dari seluruh hidupnya selama ini.
Sebelumnya perlu saya sebutkan kalau tante saya ini adalah seorang penganut Kristen garis keras. Sepanjang hidup, dia amat antusias terhadap ajaran Kristen dan benar-benar menjadikan agama sebagai nafas hidupnya. Hari-harinya dihabiskan dengan bersilaturahmi dengan sesama jemaat, beribadah, bekerja, beribadah, hangout bersama pendeta, dan beribadah. Gereja dari hampir semua cabang aliran sudah pernah dikunjunginya. Kalau biasanya penganut Kristen beribadah satu kali seminggu, tante saya dalam seminggu bisa empat kali beribadah. Singkat cerita, tante saya adalah seorang Kristen militan, dan mungkin itulah kenapa dia memiliki iman yang amat kuat, dan mungkin itu jugalah yang memberinya kekuatan untuk melewati hari-hari terakhir.
Sudah sejak lama konsep agama menarik perhatian saya. Saya sejak kecil dididik dalam lingkungan Kristen yang taat, dan sejak kecil pula saya menjadikan ke-Kristen-an dan Alkitab sebagai pegangan hidup dalam bertindak, berpikir, dan bermasyarakat. Saya menerima Alkitab sebagai kebenaran tanpa pernah mempertanyakan keabsahannya. Apa yang didikte oleh figur otoritas seperti keluarga, sekolah, atau gereja sebagai kebenaran, itu pula yang saya anggap sebagai kebenaran. Ya dan amin.
Tapi seiring beranjak dewasa, pemikiran saya semakin kritis, dan saya mempunyai kebiasaan untuk mempertanyakan segala sesuatu. Ya, segalanya, termasuk agama.
Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa untuk mengejar cita-cita menjadi seorang penulis, saya harus memperluas pengetahuan. Karena itu saya banyak menghabiskan waktu dengan membaca semua yang menarik, baik itu mitologi, sejarah, literatur, sains, sampai filosofi. Saat membaca itulah pertanyaan fundamental di kepala saya semakin menguat. Apakah agama itu fakta atau fiktif? Apakah Tuhan benar-benar ada? Atau jangan-jangan agama hanyalah sebuah mitologi?
Sebelum melangkah lebih jauh, saya harus mengingatkan kalau pembahasan ini saya batasi hanya tentang agama Kristen, karena itu satu-satunya agama yang saya pahami. Dan juga untuk menghindari konflik yang tak perlu. Saya juga harus mengingatkan kalau tulisan ini saya buat semata untuk mengungkapkan pemikiran dan pendapat pribadi saya, bukan untuk menghasut atau mengajak anda mempertanyakan kepercayaan anda. Selain itu, hanya dengan membaca sekilas tentang disiplin-disiplin ilmu terkait tidak menjadikan saya seorang ahli atau narasumber dalam bidang tersebut. Jadi sikapilah tulisan ini dengan bijak.
Bagaimana kalau Alkitab sama seperti literatur lainnya, kumpulan kisah fiktif dalam skala epik yang penuh dengan simbolisme, dibuat oleh manusia sebagai cara untuk mencoba memahami dunia di sekitar mereka? Dalam perkembangannya, kisah ini digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari mengajarkan nilai moral dan budaya, sampai propaganda politik. Kisah-kisah di dalamnya tidak bisa diartikan harafiah, dan yang pasti bukan merupakan sebuah pewahyuan ataupun kumpulan titah dari sesosok Maha Kuasa.
Mari kita mulai dengan kisah paling awal dalam Alkitab, kisah penciptaan dan kisah Nuh. Kisah penciptaan tidak hanya ada di Alkitab, tapi juga di mitologi dari berbagai kebudayaan dan kepercayaan di seluruh dunia. Kebudayaan-kebudayaan kuno ini terletak sangat jauh satu sama lain dan belum dihubungkan oleh jalur perdagangan, jadi rasanya tak mungkin kalau mereka saling mempengaruhi.
Beberapa dari kisah penciptaan ini amat berbeda dengan kisah penciptaan di Alkitab. Beberapa malah terdengar sangat aneh. Tapi sekali lagi, itu hanyalah cara mereka memaknai dunia yang kompleks ini melalui pemahaman mereka masing-masing terhadap lingkungan sekitar. Tapi yang pasti, ada pesan yang tersembunyi dalam tiap teori tersebut. Sebagai contoh, teori penciptaan suku Indian mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan dengan hewan dan alam sekitar. Teori penciptaan bangsa Jepang menanamkan nilai patrilineal di mana wanita harus tunduk dan patuh pada pria. Teori penciptaan bangsa Yunani, Nordik, dan Babilonia yang bersifat politeis mencoba menjelaskan dinamika hubungan antar manusia.
Namun ada juga teori penciptaan yang mirip dengan Alkitab. Kisah penciptaan suku Kono di Guinea dan suka Maya mengisahkan sesosok Maha Kuasa yang menciptakan dunia dengan perkataan/firmannya. Urutan penciptaannya juga kurang lebih sama dengan Alkitab, yaitu langit dan bumi, benda-benda langit, hewan dan tumbuhan, baru akhirnya manusia.
Sama seperti kisah-kisah penciptaan di atas, kisah penciptaan di Alkitab juga merupakan simbolisme dari kehidupan manusia, bukan kisah penciptaan secara harafiah. Mari kita lihat kisah Adam dan Hawa. Ada sumber yang mengatakan bahwa kisah-kisah di Alkitab Perjanjian Lama merupakan saduran dari mitologi bangsa Sumeria, termasuk kisah penciptaan. Bedanya, di kisah bangsa Sumeria dunia diciptakan oleh tuhan mereka yang berwujud seekor ular. Itulah mengapa ular dijadikan tokoh antagonis di kisah penciptaan Alkitab, sebagai simbol untuk mengganti kepercayaan bangsa Sumeria dengan kepercayaan bangsa Yahudi.
Lebih lanjut, Alkitab mengisahkan tentang Adam dan Hawa yang bebas memetik buah dari pohon yang ada di Taman Eden, sampai mereka memakan buah pengetahuan karena ingin memiliki kemampuan seperti Tuhan dan akhirnya harus diusir dari Taman Eden serta hidup dalam peluh dan penderitaan. Ini hanyalah metafora dari penemuan agraris. Dahulu manusia bertahan hidup dengan berburu dan mengumpulkan makanan/food gathering di mana mereka tinggal mengambil makanan yang disediakan alam (memetik buah di Taman Eden). Kemudian manusia mengembangkan sistem agraris di mana mereka dapat menumbuhkan sendiri makanan yang mereka butuhkan (kemampuan seperti Tuhan). Tentu saja setelah itu mereka tidak perlu lagi kembali ke pola hidup food gathering (diusir dari Taman Eden). Dan sejak itu manusia harus hidup membanting tulang untuk mengusahakan lahan dan bercocok tanam (hidup dalam peluh dan penderitaan).
Kisah banjir besar tidak hanya ada di cerita Nuh tapi hampir di seluruh mitologi dunia seperti Cina, Nordik, agama Hindu, Indian, sampai suku Aborigin di Australia. Termasuk di antaranya yang paling terkenal adalah Epik Gilgamesh yang berasal dari kebudayaan Mesopotamia. Epik ini telah ada sejak tahun 2150 BC, jauh sebelum Alkitab mulai ditulis (1200 BC). Kisah banjir besar di epik itu amat mirip dengan kisah di Alkitab.
Sains menunjukkan bahwa peristiwa banjir besar benar-benar pernah terjadi di berbagai belahan dunia, tapi penjelasannya adalah ilmiah dan berdasarkan iklim serta kondisi geografis pada zaman itu. 10 ribu tahun yang lalu adalah masa di mana Zaman Es yang terakhir berakhir, dan es-es di seluruh dunia mengalami pencairan. Biasanya pencairan berlangsung perlahan, tapi di beberapa daerah seperti lembah yang dikelilingi pegunungan, air yang terkumpul akan turun tiba-tiba ke lembah terdekat dan menghancurkan pemukiman manusia yang tinggal di situ. Katakanlah seperti banjir bandang, hanya dalam skala epik.
Manusia yang berhasil selamat tentunya akan menceritakan kejadian tersebut secara turun-temurun kepada anak cucunya dan lama-kelamaan berkembang menjadi mitos. Intinya, banjir besar memang benar-benar pernah terjadi, tapi itu hanyalah sebuah kejadian alami dan bukan karena intervensi ilahi.
Sekarang mari kita beranjak ke Perjanjian Baru. Ada sumber yang mengatakan kalau cerita di Perjanjian Baru hanyalah sebuah rekaan dari seorang cendekiawan bernama Flavius Josephus.
Pada tahun 27 BC, kekuasaan kerajaan Romawi mencapai puncaknya di bawah pimpinan Julius Caesar (49-44 BC) dan diteruskan oleh Augustus (27 BC-14 AD) dan merupakan awal dari berkuasanya dinasti Julio-Claudian (27 BC-68 AD). Daerah kekuasaan mereka meluas sampai ke Timur Tengah. Pada dinasti ini, bangsa Romawi berusaha melegitimasi kekuasaan di daerah jajahannya dengan menyatakan figur pemimpin bangsa mereka/kaisar sebagai keturunan dewa, dan mereka memerintahkan pemasangan patung sosok kaisar ini di tiap tempat ibadah/kuil daerah jajahan mereka, termasuk di propinsi Judea, yang banyak didiami bangsa Yahudi.
Bangsa Yahudi tentu saja amat tersinggung karena mereka adalah penganut agama monoteis dan tidak bisa menerima keberadaan sosok lain untuk disembah. Tensi di kalangan bangsa Yahudi meningkat dan acap kali timbul pemberontakan secara sporadik di daerah tersebut. Hal ini tentu mengundang reaksi dari bangsa Romawi dan mereka menggunakan kekuatan militer untuk meredam pemberontakan tersebut. Tapi pemberontakan bangsa Yahudi tidak reda dan akhirnya mereka menjadi musuh bangsa Romawi. Persekusi terhadap bangsa Yahudi mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Nero (54-68 AD) di mana orang-orang Yahudi banyak yang ditangkap dan dieksekusi.
Konflik antara bangsa Yahudi dan Romawi semakin bereskalasi dan akhirnya tercetuslah Perang Yahudi-Romawi Pertama (66-74 AD). Kaisar Nero mengirimkan dua panglima perang terbaiknya, Vespasian dan anaknya, Titus Flavius. Sementara itu, kondisi domestik di Roma semakin kacau karena kepemimpinan Nero yang terkenal brutal dan korup. Pada tahun 68 AD senat Romawi menyatakan Nero sebagai musuh negara dan ia akhirnya bunuh diri. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Vespasian yang memiliki dukungan militer dan popularitas yang kuat untuk kembali ke Roma dan merebut tampuk kekuasaan sementara Titus melanjutkan peperangan. Vespasian akhirnya berhasil menjadi kaisar dan menandai berakhirnya dinasti Julio-Claudian dan dimulainya dinasti Flavian (68-96 AD). Dinasti inilah yang berperan besar dalam lahirnya agama Kristen.
Di Judea, peperangan mencapai puncaknya pada tahun 70 AD dengan penyerbuan Yerusalem dan penghancuran Bait Allah yang kedua. Saat itu, Titus mengambil semua artefak religius bangsa Yahudi yang berharga, termasuk kitab suci bangsa Yahudi yang asli sementara semua salinannya yang lain dikumpulkan dan dibakar.
Perang berakhir pada tahun 74 AD dan tentu saja bangsa Romawi keluar sebagai pemenang sementara bangsa Yahudi mengalami kehancuran total. Tapi di luar dugaan, pemberontakan bangsa Yahudi tidak berakhir tapi malah meluas sampai ke Alexandria. Hal ini disebabkan karena saat itu muncul nubuat di antara bangsa Yahudi bahwa akan datang sosok Mesias yang membawa mereka menaklukkan semua musuh dan keluar dari belenggu penjajahan. Nubuat itu membuat semangat bangsa Yahudi tidak pernah padam untuk terus berjuang. Titus menyadari bahwa peperangan ini bukan lagi pertempuran fisik tapi sudah menjadi perang ideologi.
Untuk memenangkan perang, Titus tidak bisa hanya menang di medan tempur, ia juga harus meruntuhkan ideologi bangsa Yahudi. Saat itulah ia memiliki sebuah rencana, rencana yang selamanya akan mengubah wajah religi dunia.
Tapi yang menarik perhatian saya, tante saya tampak sangat tenang dalam menghadapi penyakitnya. Melihat sekilas, terlepas dari badannya yang amat kurus dan wajahnya yang sangat pucat, dia tampak seperti orang sehat pada umumnya. Dia masih aktif menjalani hari-harinya dengan bekerja, mengunjungi teman, dan beribadah. Dia masih memiliki semangat dan gairah hidup. Baru beberapa bulan terakhir saat kanker sudah menjalar ke seluruh tubuh dan kondisinya teramat lemah, dia harus menghabiskan sisa waktunya di Rumah Sakit.
Saat menjenguk pun, pemandangan yang saya lihat tidak seperti yang saya bayangkan. Di foto CT-Scannya yang terakhir, terlihat kanker sudah menyebar ke paru-paru, hati, lambung, dan beberapa kelenjar getah bening. Dari pengalaman saya melihat pasien kanker stadium terminal seperti ini, biasanya kondisinya sudah amat buruk, fisik maupun mental. Pasien hanya terbaring diam, mungkin sambil berjuang mengambil nafas karena paru-parunya sudah dipenuhi sel-sel kanker, atau mungkin juga sambil berusaha menahan nyeri di seluruh tubuhnya. Tapi tidak dengan tante saya.
Saat masuk ruangan tempat beliau dirawat, terlihat ia sedang membaca Alkitab, sembari ditemani smartphone-nya yang kadang memainkan rekaman-rekaman khotbah, kadang mengalunkan lagu-lagu rohani. Beliau juga masih semangat mengajak ngobrol dan menyapa siapapun yang datang menjenguknya. Tidak terpancar sedikitpun ketakutan atau rasa cemas dari dirinya, walau tiap beberapa menit dia harus muntah karena lambungnya sudah habis digerogoti sel kanker. Pandangan matanya tidak hampa seperti pasien stadium akhir yang biasanya saya temui. Sebaliknya, matanya seolah menyiratkan sebuah pengharapan, seakan dia tidak sedang berjuang menghadapi akhir hidupnya, tapi justru sedang bersiap menjalani hidupnya yang baru akan dimulai. Hidup baru di tanah perjanjian yang sudah dijanjikan akan diberikan kepadanya sebagai seorang penganut Kristen yang taat. Tanah perjanjian yang keberadaannya melampaui segala akal dan ilmu pengetahuan manusia, dan hanya bisa dijangkau oleh mereka yang telah meninggalkan raganya di bumi. Sebuah hidup yang tidak saja lebih baik dari hari-harinya melawan kanker, tapi juga lebih baik dari seluruh hidupnya selama ini.
Sebelumnya perlu saya sebutkan kalau tante saya ini adalah seorang penganut Kristen garis keras. Sepanjang hidup, dia amat antusias terhadap ajaran Kristen dan benar-benar menjadikan agama sebagai nafas hidupnya. Hari-harinya dihabiskan dengan bersilaturahmi dengan sesama jemaat, beribadah, bekerja, beribadah, hangout bersama pendeta, dan beribadah. Gereja dari hampir semua cabang aliran sudah pernah dikunjunginya. Kalau biasanya penganut Kristen beribadah satu kali seminggu, tante saya dalam seminggu bisa empat kali beribadah. Singkat cerita, tante saya adalah seorang Kristen militan, dan mungkin itulah kenapa dia memiliki iman yang amat kuat, dan mungkin itu jugalah yang memberinya kekuatan untuk melewati hari-hari terakhir.
=================
Tapi seiring beranjak dewasa, pemikiran saya semakin kritis, dan saya mempunyai kebiasaan untuk mempertanyakan segala sesuatu. Ya, segalanya, termasuk agama.
Akhir-akhir ini saya menyadari bahwa untuk mengejar cita-cita menjadi seorang penulis, saya harus memperluas pengetahuan. Karena itu saya banyak menghabiskan waktu dengan membaca semua yang menarik, baik itu mitologi, sejarah, literatur, sains, sampai filosofi. Saat membaca itulah pertanyaan fundamental di kepala saya semakin menguat. Apakah agama itu fakta atau fiktif? Apakah Tuhan benar-benar ada? Atau jangan-jangan agama hanyalah sebuah mitologi?
Sebelum melangkah lebih jauh, saya harus mengingatkan kalau pembahasan ini saya batasi hanya tentang agama Kristen, karena itu satu-satunya agama yang saya pahami. Dan juga untuk menghindari konflik yang tak perlu. Saya juga harus mengingatkan kalau tulisan ini saya buat semata untuk mengungkapkan pemikiran dan pendapat pribadi saya, bukan untuk menghasut atau mengajak anda mempertanyakan kepercayaan anda. Selain itu, hanya dengan membaca sekilas tentang disiplin-disiplin ilmu terkait tidak menjadikan saya seorang ahli atau narasumber dalam bidang tersebut. Jadi sikapilah tulisan ini dengan bijak.
Bagaimana kalau Alkitab sama seperti literatur lainnya, kumpulan kisah fiktif dalam skala epik yang penuh dengan simbolisme, dibuat oleh manusia sebagai cara untuk mencoba memahami dunia di sekitar mereka? Dalam perkembangannya, kisah ini digunakan untuk berbagai tujuan, mulai dari mengajarkan nilai moral dan budaya, sampai propaganda politik. Kisah-kisah di dalamnya tidak bisa diartikan harafiah, dan yang pasti bukan merupakan sebuah pewahyuan ataupun kumpulan titah dari sesosok Maha Kuasa.
Mari kita mulai dengan kisah paling awal dalam Alkitab, kisah penciptaan dan kisah Nuh. Kisah penciptaan tidak hanya ada di Alkitab, tapi juga di mitologi dari berbagai kebudayaan dan kepercayaan di seluruh dunia. Kebudayaan-kebudayaan kuno ini terletak sangat jauh satu sama lain dan belum dihubungkan oleh jalur perdagangan, jadi rasanya tak mungkin kalau mereka saling mempengaruhi.
Beberapa dari kisah penciptaan ini amat berbeda dengan kisah penciptaan di Alkitab. Beberapa malah terdengar sangat aneh. Tapi sekali lagi, itu hanyalah cara mereka memaknai dunia yang kompleks ini melalui pemahaman mereka masing-masing terhadap lingkungan sekitar. Tapi yang pasti, ada pesan yang tersembunyi dalam tiap teori tersebut. Sebagai contoh, teori penciptaan suku Indian mengajarkan manusia untuk hidup berdampingan dengan hewan dan alam sekitar. Teori penciptaan bangsa Jepang menanamkan nilai patrilineal di mana wanita harus tunduk dan patuh pada pria. Teori penciptaan bangsa Yunani, Nordik, dan Babilonia yang bersifat politeis mencoba menjelaskan dinamika hubungan antar manusia.
Namun ada juga teori penciptaan yang mirip dengan Alkitab. Kisah penciptaan suku Kono di Guinea dan suka Maya mengisahkan sesosok Maha Kuasa yang menciptakan dunia dengan perkataan/firmannya. Urutan penciptaannya juga kurang lebih sama dengan Alkitab, yaitu langit dan bumi, benda-benda langit, hewan dan tumbuhan, baru akhirnya manusia.
Sama seperti kisah-kisah penciptaan di atas, kisah penciptaan di Alkitab juga merupakan simbolisme dari kehidupan manusia, bukan kisah penciptaan secara harafiah. Mari kita lihat kisah Adam dan Hawa. Ada sumber yang mengatakan bahwa kisah-kisah di Alkitab Perjanjian Lama merupakan saduran dari mitologi bangsa Sumeria, termasuk kisah penciptaan. Bedanya, di kisah bangsa Sumeria dunia diciptakan oleh tuhan mereka yang berwujud seekor ular. Itulah mengapa ular dijadikan tokoh antagonis di kisah penciptaan Alkitab, sebagai simbol untuk mengganti kepercayaan bangsa Sumeria dengan kepercayaan bangsa Yahudi.
Lebih lanjut, Alkitab mengisahkan tentang Adam dan Hawa yang bebas memetik buah dari pohon yang ada di Taman Eden, sampai mereka memakan buah pengetahuan karena ingin memiliki kemampuan seperti Tuhan dan akhirnya harus diusir dari Taman Eden serta hidup dalam peluh dan penderitaan. Ini hanyalah metafora dari penemuan agraris. Dahulu manusia bertahan hidup dengan berburu dan mengumpulkan makanan/food gathering di mana mereka tinggal mengambil makanan yang disediakan alam (memetik buah di Taman Eden). Kemudian manusia mengembangkan sistem agraris di mana mereka dapat menumbuhkan sendiri makanan yang mereka butuhkan (kemampuan seperti Tuhan). Tentu saja setelah itu mereka tidak perlu lagi kembali ke pola hidup food gathering (diusir dari Taman Eden). Dan sejak itu manusia harus hidup membanting tulang untuk mengusahakan lahan dan bercocok tanam (hidup dalam peluh dan penderitaan).
Kisah banjir besar tidak hanya ada di cerita Nuh tapi hampir di seluruh mitologi dunia seperti Cina, Nordik, agama Hindu, Indian, sampai suku Aborigin di Australia. Termasuk di antaranya yang paling terkenal adalah Epik Gilgamesh yang berasal dari kebudayaan Mesopotamia. Epik ini telah ada sejak tahun 2150 BC, jauh sebelum Alkitab mulai ditulis (1200 BC). Kisah banjir besar di epik itu amat mirip dengan kisah di Alkitab.
Sains menunjukkan bahwa peristiwa banjir besar benar-benar pernah terjadi di berbagai belahan dunia, tapi penjelasannya adalah ilmiah dan berdasarkan iklim serta kondisi geografis pada zaman itu. 10 ribu tahun yang lalu adalah masa di mana Zaman Es yang terakhir berakhir, dan es-es di seluruh dunia mengalami pencairan. Biasanya pencairan berlangsung perlahan, tapi di beberapa daerah seperti lembah yang dikelilingi pegunungan, air yang terkumpul akan turun tiba-tiba ke lembah terdekat dan menghancurkan pemukiman manusia yang tinggal di situ. Katakanlah seperti banjir bandang, hanya dalam skala epik.
Manusia yang berhasil selamat tentunya akan menceritakan kejadian tersebut secara turun-temurun kepada anak cucunya dan lama-kelamaan berkembang menjadi mitos. Intinya, banjir besar memang benar-benar pernah terjadi, tapi itu hanyalah sebuah kejadian alami dan bukan karena intervensi ilahi.
=================
Pada tahun 27 BC, kekuasaan kerajaan Romawi mencapai puncaknya di bawah pimpinan Julius Caesar (49-44 BC) dan diteruskan oleh Augustus (27 BC-14 AD) dan merupakan awal dari berkuasanya dinasti Julio-Claudian (27 BC-68 AD). Daerah kekuasaan mereka meluas sampai ke Timur Tengah. Pada dinasti ini, bangsa Romawi berusaha melegitimasi kekuasaan di daerah jajahannya dengan menyatakan figur pemimpin bangsa mereka/kaisar sebagai keturunan dewa, dan mereka memerintahkan pemasangan patung sosok kaisar ini di tiap tempat ibadah/kuil daerah jajahan mereka, termasuk di propinsi Judea, yang banyak didiami bangsa Yahudi.
Bangsa Yahudi tentu saja amat tersinggung karena mereka adalah penganut agama monoteis dan tidak bisa menerima keberadaan sosok lain untuk disembah. Tensi di kalangan bangsa Yahudi meningkat dan acap kali timbul pemberontakan secara sporadik di daerah tersebut. Hal ini tentu mengundang reaksi dari bangsa Romawi dan mereka menggunakan kekuatan militer untuk meredam pemberontakan tersebut. Tapi pemberontakan bangsa Yahudi tidak reda dan akhirnya mereka menjadi musuh bangsa Romawi. Persekusi terhadap bangsa Yahudi mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Nero (54-68 AD) di mana orang-orang Yahudi banyak yang ditangkap dan dieksekusi.
Konflik antara bangsa Yahudi dan Romawi semakin bereskalasi dan akhirnya tercetuslah Perang Yahudi-Romawi Pertama (66-74 AD). Kaisar Nero mengirimkan dua panglima perang terbaiknya, Vespasian dan anaknya, Titus Flavius. Sementara itu, kondisi domestik di Roma semakin kacau karena kepemimpinan Nero yang terkenal brutal dan korup. Pada tahun 68 AD senat Romawi menyatakan Nero sebagai musuh negara dan ia akhirnya bunuh diri. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Vespasian yang memiliki dukungan militer dan popularitas yang kuat untuk kembali ke Roma dan merebut tampuk kekuasaan sementara Titus melanjutkan peperangan. Vespasian akhirnya berhasil menjadi kaisar dan menandai berakhirnya dinasti Julio-Claudian dan dimulainya dinasti Flavian (68-96 AD). Dinasti inilah yang berperan besar dalam lahirnya agama Kristen.
Di Judea, peperangan mencapai puncaknya pada tahun 70 AD dengan penyerbuan Yerusalem dan penghancuran Bait Allah yang kedua. Saat itu, Titus mengambil semua artefak religius bangsa Yahudi yang berharga, termasuk kitab suci bangsa Yahudi yang asli sementara semua salinannya yang lain dikumpulkan dan dibakar.
Perang berakhir pada tahun 74 AD dan tentu saja bangsa Romawi keluar sebagai pemenang sementara bangsa Yahudi mengalami kehancuran total. Tapi di luar dugaan, pemberontakan bangsa Yahudi tidak berakhir tapi malah meluas sampai ke Alexandria. Hal ini disebabkan karena saat itu muncul nubuat di antara bangsa Yahudi bahwa akan datang sosok Mesias yang membawa mereka menaklukkan semua musuh dan keluar dari belenggu penjajahan. Nubuat itu membuat semangat bangsa Yahudi tidak pernah padam untuk terus berjuang. Titus menyadari bahwa peperangan ini bukan lagi pertempuran fisik tapi sudah menjadi perang ideologi.
Untuk memenangkan perang, Titus tidak bisa hanya menang di medan tempur, ia juga harus meruntuhkan ideologi bangsa Yahudi. Saat itulah ia memiliki sebuah rencana, rencana yang selamanya akan mengubah wajah religi dunia.
Comments
Post a Comment