Tolak Ukur Kedewasaan
Apa arti kedewasaan? Kapan seseorang bisa dikatakan sudah menginjak dewasa? Apa yang membedakan seorang dewasa dengan sesosok anak kecil? Itu adalah pertanyaan yang sudah lama saya tanyakan di benak saya. Apakah dilihat dari kondisi finansialnya? Bila demikian, bagaimana dengan seseorang yang mewarisi harta orang tuanya yang kebetulan adalah miliarder? Dia otomatis memiliki kemapanan finansial tanpa harus bersusah payah. Rasanya kurang adil kalau kondisi finansial semata dijadikan tolak ukur kedewasaan seseorang. Apakah dilihat dari kemampuannya bekerja dan menghasilkan uang? Lalu bagaimana dengan seseorang yang memutuskan untuk mencari penghidupan dengan menjadi pekerja seks komersial atau gembong kriminal? Rasanya kurang tepat kalau kemampuan mencari uang semata dijadikan patokan seseorang telah mencapai kedewasaan yang matang.
Jadi apa sebenarnya tolak ukur kedewasaan? Kebetulan belum lama ini saya mengalami sebuah peristiwa yang sedikit banyak, langsung tak langsung, memberikan saya pencerahan tentang makna kedewasaan. Sebenarnya agak sulit bagi saya untuk menceritakan hal ini karena ada beberapa aspek di dalamnya yang bersifat privasi, tapi saya akan mencoba untuk menceritakannya sejujur mungkin.
Beberapa tahun lalu, saya berkenalan dengan seorang wanita lewat media sosial. Sebut saja namanya Miss X. Miss X sebenarnya merupakan adik kelas saya di bangku kuliah, tapi selama masih kuliah saya tidak pernah berkesempatan untuk mengenalnya, maka jadilah saya baru berkenalan dengannya setelah saya lulus, itupun lewat medsos.
Perkenalan kami diawali dengan percakapan basa-basi yang standar, "Kenal dari mana?", "Kok bisa add?", "Sekarang lagi stase apa?", dsb. Tapi lama-kelamaan, saya merasakan ada sesuatu yang beda dengannya. Salah satu contoh yang krusial, kita masih sering ngobrol di medsos beberapa hari setelah berkenalan. Mungkin anda bertanya, "Yah terus kenapa, itu mah biasa aja kali?" Bila anda bertanya demikian, berarti anda tidak mengenal saya. Salah satu fakta tentang saya yang tidak saya banggakan adalah saya memiliki kecanggungan sosial yangamat cukup parah. Saat berkenalan dengan seseorang, terutama lawan jenis, jangankan untuk mempertahankan chemistry obrolan sampai beberapa hari, menjaga agar obrolan tetap berjalan normal selama beberapa menit saja saya sudah kesulitan. Mungkin anda bertanya, "Yah tapi kalau lewat texting/medsos ngobrolnya lebih gampang kali, kan gak pake grogi?" Bila anda bertanya seperti itu, berarti anda sungguh-sungguh tidak mengenal saya. Sebagai perbandingan, akhir-akhir ini saya menggunakan aplikasi kencan online, 99% dari semua wanita yang match dengan saya berhenti ngobrol setelah saya mengucapkan kalimat pertama. Singkat cerita, komunikasi interpersonal bukan kelebihan saya, lisan maupun tulisan.
Tapi tidak dengan Miss X. Saat ngobrol dengannya, pikiran saya tak pernah buntu. Belenggu kegugupan dan nalar yang terblokir rasanya runtuh seketika saat dia menyapa, walau hanya lewat texting. Ide-ide percakapan mengalir dengan lancar, dan itu adalah hal yang langka bagi saya. Kita dapat membicarakan apapun, bahkan hal yang remeh sekalipun dapat kita ubah menjadi percakapan yang menarik. Dan yang tak kalah penting, dia memiliki hobi yang sama dengan saya, yaitu literasi. Bagi saya yang telah lama hidup dalam isolasi sosial, dialah yang membuat saya percaya kalau ada wanita di dunia ini yang bisa nyaman berbicara dengan saya.
Lama-kelamaan, saya tidak bisa menghentikan perasaan yang tumbuh di hati saya. Tebersit di benak saya untuk mencoba melanjutkan hubungan ini satu langkah ke depan, dan mungkin bila saya beruntung, mengakhiri status single yang telah terlalu lama saya sandang. Saya mulai membuat rencana untuk menelpon dan mengajaknya bertemu, muka dengan muka, tidak lagi melalui medsos atau texting, rencana yang tentunya akan dilakukan oleh pria manapun yang masih waras. Tapi mungkin hidup dalam isolasi sosial dan psikologis yang terlalu lama sudah membuat kewarasan saya sedikit berkurang. Alih-alih, saya membuat kesalahan bodoh, kesalahan yang mungkin akan saya sesali untuk selamanya.
Sebelumnya harus saya jelaskan sedikit mengenai pola pikir saya. Mekanisme kreasi rasionalitas dan deduksi logika yang ada di balik tempurung kepala saya. Entah karena hidup menyendiri terlalu lama, kepercayaan diri yang terlalu rendah, atau semata karena bawaan lahir, saya memiliki cara pikir yang agakaneh unik. Dalam perspektif saya, semuanya harus absolut. Benar atau salah. Hitam atau putih. Ya atau tidak. Daerah abu-abu tidak ada dalam perbendaharaan kata saya. Sebagai contoh, dalam bidang pertemanan, bagi saya tidak ada yang namanya teman dekat, teman biasa, atau teman sebatas kenal. Di kamus saya hanya ada dua istilah, kawan atau lawan. Dalam bidang pekerjaan, kalau saya merasa tidak menyukai suatu pekerjaan atau saya tidak akan bisa menjadi yang terbaik dalam pekerjaan itu, maka pekerjaan itu lebih baik tidak usah dilakukan sama sekali. Kalau saya belum menemukan pekerjaan di mana saya bisa menjadi yang terbaik di bidang itu, maka lebih baik tidak usah melakukan apa-apa dan berdiam diri saja di kamar. Mungkin saya baru akan melakukan pekerjaan yang tidak saya suka kalau ada orang yang menyuruh saya bekerja sambil menodongkan pistol di kepala saya. Perspektif yang rigid ini banyak menimbulkan kesulitan di hidup saya dan tentunya amat saya anjurkan untuk jangan ditiru.
Hidup soliter yang kronis juga membuat saya memiliki kecenderungan untuk mudah terobsesi pada suatu hal. Bila ada suatu hal yang menarik perhatian saya, positif ataupun negatif, maka hal itu akan terus menjadi perhatian saya dan seluruh hidup saya akan terpusat pada hal itu. Sekali lagi, saya menyadari bahwa hal ini bukanlah hal yang baik dan saya juga sedang berusaha untuk mengubahnya.
Begitupun dalam bidang ketertarikan lawan jenis. Saya terobsesi dengan penampilan fisik. Dalam benak saya, wanita yang menjadi pasangan hidup saya harus memiliki nilai 8 ke atas dalam skala misoginis, seolah hanya penampilan saja yang menjadi nilai dan keunggulan dari seorang wanita. Mungkin karena saya ingin membuat iri pria-pria lain, mungkin karena saya ingin semua wanita yang pernah menolak saya menyesal, atau mungkin saya hanya ingin memiliki simbol untuk menutupi semua kerendahan diri saya, saya juga tidak tahu, yang jelas obsesi yang menjijikkan ini begitu terpatri di benak saya. Dan kebetulan Miss X tidak memenuhi ekspektasi saya dari segi fisik, walaupun dari segi psikologis, hobi, minat, kenyamanan saat ngobrol, kecocokan, dan lain-lain, saya merasa sudah menemukan belahan jiwa saya. Waktu itu saya juga berpikir, saya masih muda, saya bahkan belum berusia 29 tahun, usia yang konon merupakan puncak kematangan seorang pria. Mungkin saya masih bisa menemukan wanita lain yang lebih dapat memenuhi obsesi saya, begitu simpul saya waktu itu.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mundur perlahan dari hubungan ini. Saya takut dia juga memiliki ketertarikan yang sama terhadap saya, dan apabila saya terus melanjutkan mendekati dia, saya khawatir saya hanya akan memberikan dia harapan palsu dan saya akan melukai hatinya. Mungkin anda berpikir, "Yah kalau gitu tetap berteman aja sama dia, coba ajak ketemuan kek, ga perlu langsung ngejauhin juga kali!" Sekali lagi saya memiliki pola pikir absolut, ya dan tidak, tidak ada daerah abu-abu. Kebetulan waktu itu dia juga jadi jarang mengontak saya, mungkin dia dapat merasakan saya yang tiba-tiba menjaga jarak dengannya. Maka jadilah hubungan kami semakin renggang, akhirnya kami berdua benar-benar hilang kontak, dan menempuh jalan hidup kami masing-masing.
Perlahan saya mulai melupakan dia dan menjalani hidup saya seperti biasa. Beberapa kali saya jatuh hati kepada seorang wanita, dan beberapa kali pula saya patah hati. Tahun demi tahun berlalu, sekarang saya sudah melewati usia puncak kematangan seorang pria dan status single saya masih belum juga tergoyahkan. Mungkin saya harus mengganti status saya dari single menjadi desperate.
Beberapa hari lalu saya sedang menjelajah media sosial, entah mengapa tiba-tiba saya teringat dengan Miss X. Bagaimana kabarnya? Bagaimana perkembangan karirnya? Apakah hidup memperlakukan dia dengan baik? Kemudian saya membuka halaman profilnya dan muncullah foto-fotonya. Walau hanya lewat foto, saya bisa melihat kalau dia masih seperti dulu. Dia masih seorang wanita yang lugu, sederhana, dan bersahaja. Saya agak terpana saat melihat foto-foto kegiatannya. Selain masih aktif menulis, dia juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan sosial dan membaktikan profesinya sebagai dokter dengan melakukan pelayanan ke daerah-daerah terpencil. Saat melihat dirinya yang sedang bermain dengan anak-anak ataupun melayani pasien, walau hanya lewat foto, saya dapat merasakan dari raut wajahnya terpancar kehangatan dan ketulusan, hal yang merupakan komoditas langka di zaman modern ini. Singkatnya, masih persis seperti dulu, dia memiliki semua yang seorang pria butuhkan dari seorang wanita. Butuh, bukan ingin. Dan masih persis seperti dulu, saya merasa kalau dia adalah versi perempuan (dan normal) dari diri saya.
Seketika timbul hasrat dalam diri saya untuk mencoba menghubunginya kembali, dan mungkin, melanjutkan apa yang waktu dulu terhenti begitu saja. Tapi hasrat itu langsung sirna ketika saya melihat foto terakhir yang ada di deretan foto-fotonya. Tanggal yang tertera di foto itu baru beberapa hari sebelumnya. Di situ terlihat Miss X sedang berada dalam dekapan seorang pria. Di jari manisnya terselip sebuah cincin berwarna perak. Miss X telah resmi memberikan hatinya kepada seorang pria.
Seketika perasaan berkecamuk dalam batin saya. Di satu sisi saya berpikir, "Yah sudahlah, dia juga tampak sangat bahagia, dan pria yang ada di sebelahnya juga tampaknya seorang pria baik-baik." Tapi di sisi lain saya berpikir, "Tunggu sebentar, bagaimana kalau wanita yang ada di dekapan pria itu adalah belahan hati saya yang selama ini telah saya cari? Bagaimana kalau wanita yang di jari manisnya terselip cincin perak dan tersenyum bahagia itu adalah tulang rusuk saya yang hilang?" Nafas saya tiba-tiba terputus dan sesaat saya seperti benar-benar mendengar suara yang menggema dari atas dan berkata, "Sudah terlambat."
Yap, sudah terlambat. Apapun perasaan saya padanya, semua sekarang tak penting lagi. Apabila saya dulu pernah berpikir, "Hey, mungkin kalau akhirnya saya tidak menemukan lagi wanita yang lebih baik dari dirinya, saya dapat selalu kembali kepadanya, dia akan selalu menunggu saya dengan hati yang terbuka." Nope. Salah total. Nol besar. Dia sudah bersanding dengan pria lain, dan saya hanya bisa gigit jari kaki. Tak lama lagi saya akan melihat fotonya menggendong seorang bayi, buah cinta dia dan sang pria, sementara saya hanya bisa menggendong keponakan saya. Nasi sudah menjadi bubur, dan buburnya bahkan sudah basi.
Dari pengalaman ini, saya mendapat tiga pelajaran berharga. Pertama, kecuali anda memiliki tampang seperti Ryan Gosling, milikilah ekspektasi yang realistis. Kedua, kecantikan bukanlah segalanya, kecocokan emosional, psikologis, dan spiritual jauh lebih penting dari penampilan fisik semata. Ketiga dan sekaligus yang paling relevan dengan judul artikel ini adalah, kedewasaan adalah tentang berani mengambil keputusan dan siap menerima konsekuensinya.
Saat masih kecil, ketika kita berbuat salah, kita dapat selalu bersembunyi di balik kedua orang tua kita. Di bangku sekolah, bila kita berbuat salah, orang tua kita akan dipanggil oleh pihak sekolah. Tapi di dunia kerja, bila kita berbuat salah, kita akan langsung dipecat oleh bos kita. Kedewasaan dimulai saat kita menyadari bahwa hidup penuh dengan pilihan. Pilihan yang benar akan membawa kita pada kesuksesan, sementara pilihan yang salah akan membawa kita pada pembelajaran. Tapi benar atau salah, kitalah yang menanggung konsekuensi dari pilihan yang kita buat.
Saat Miss X jatuh ke dekapan pria lain, saya tidak bisa menyalahkan siapapun selain diri saya sendiri. Ini bukan salah sang pria, nasib, apalagi Miss X. Pola pikir dan ekspektasi yang tidak realistis lah yang membuat saya kehilangan wanita yang mungkin merupakan pasangan yang tepat dan seharusnya dapat memberikan kebahagiaan untuk saya.
Saya punya dua pilihan, tetap mempertahankan perspektif rigid dan obsesif yang akhirnya merugikan diri saya sendiri, atau belajar memperluas pergaulan dan mengubah perspektif saya. Pilihan apapun yang saya buat, saya sendirilah yang akan menanggung konsekuensinya.
Ini bukanlah hanya soal pasangan hidup. Mungkin anda juga pernah dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Tetap melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak begitu anda suka, atau mencoba membuka usaha sendiri. Mungkin ada hal-hal yang sebenarnya dari dulu ingin anda lakukan, tapi belum berani anda wujudkan. Mungkin anda ingin menulis buku, berpetualang mengelilingi dunia, atau menjadi sutradara film. Mungkin passion yang ingin anda ikuti memiliki banyak resiko, tapi tidak mengikuti passion anda juga memiliki resikonya sendiri, hidup selamanya dalam ketidak puasan dan mungkin meninggal dengan penyesalan.
Mungkin anda sudah lama ingin rutin berolahraga dan menjalankan diet sehat. Mungkin anda sudah lama ingin berhenti merokok. Mungkin ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang sudah lama ingin anda perbaiki. Mungkin sudah lama anda ingin mengucapkan terima kasih pada kedua orang tua anda. Atau mungkin seperti saya, sudah lama anda ingin mengutarakan cinta kepada seseorang. Lakukan atau tidak lakukan, pilihan apapun yang anda buat, anda sendirilah yang menanggung konsekuensinya. Maka, pilihlah dengan bijak.
NB: Tulisan ini saya dedikasikan untuk 325, saya doakan kebahagiaan selalu menjadi milikmu.
Jadi apa sebenarnya tolak ukur kedewasaan? Kebetulan belum lama ini saya mengalami sebuah peristiwa yang sedikit banyak, langsung tak langsung, memberikan saya pencerahan tentang makna kedewasaan. Sebenarnya agak sulit bagi saya untuk menceritakan hal ini karena ada beberapa aspek di dalamnya yang bersifat privasi, tapi saya akan mencoba untuk menceritakannya sejujur mungkin.
Beberapa tahun lalu, saya berkenalan dengan seorang wanita lewat media sosial. Sebut saja namanya Miss X. Miss X sebenarnya merupakan adik kelas saya di bangku kuliah, tapi selama masih kuliah saya tidak pernah berkesempatan untuk mengenalnya, maka jadilah saya baru berkenalan dengannya setelah saya lulus, itupun lewat medsos.
Perkenalan kami diawali dengan percakapan basa-basi yang standar, "Kenal dari mana?", "Kok bisa add?", "Sekarang lagi stase apa?", dsb. Tapi lama-kelamaan, saya merasakan ada sesuatu yang beda dengannya. Salah satu contoh yang krusial, kita masih sering ngobrol di medsos beberapa hari setelah berkenalan. Mungkin anda bertanya, "Yah terus kenapa, itu mah biasa aja kali?" Bila anda bertanya demikian, berarti anda tidak mengenal saya. Salah satu fakta tentang saya yang tidak saya banggakan adalah saya memiliki kecanggungan sosial yang
Tapi tidak dengan Miss X. Saat ngobrol dengannya, pikiran saya tak pernah buntu. Belenggu kegugupan dan nalar yang terblokir rasanya runtuh seketika saat dia menyapa, walau hanya lewat texting. Ide-ide percakapan mengalir dengan lancar, dan itu adalah hal yang langka bagi saya. Kita dapat membicarakan apapun, bahkan hal yang remeh sekalipun dapat kita ubah menjadi percakapan yang menarik. Dan yang tak kalah penting, dia memiliki hobi yang sama dengan saya, yaitu literasi. Bagi saya yang telah lama hidup dalam isolasi sosial, dialah yang membuat saya percaya kalau ada wanita di dunia ini yang bisa nyaman berbicara dengan saya.
Lama-kelamaan, saya tidak bisa menghentikan perasaan yang tumbuh di hati saya. Tebersit di benak saya untuk mencoba melanjutkan hubungan ini satu langkah ke depan, dan mungkin bila saya beruntung, mengakhiri status single yang telah terlalu lama saya sandang. Saya mulai membuat rencana untuk menelpon dan mengajaknya bertemu, muka dengan muka, tidak lagi melalui medsos atau texting, rencana yang tentunya akan dilakukan oleh pria manapun yang masih waras. Tapi mungkin hidup dalam isolasi sosial dan psikologis yang terlalu lama sudah membuat kewarasan saya sedikit berkurang. Alih-alih, saya membuat kesalahan bodoh, kesalahan yang mungkin akan saya sesali untuk selamanya.
Sebelumnya harus saya jelaskan sedikit mengenai pola pikir saya. Mekanisme kreasi rasionalitas dan deduksi logika yang ada di balik tempurung kepala saya. Entah karena hidup menyendiri terlalu lama, kepercayaan diri yang terlalu rendah, atau semata karena bawaan lahir, saya memiliki cara pikir yang agak
Hidup soliter yang kronis juga membuat saya memiliki kecenderungan untuk mudah terobsesi pada suatu hal. Bila ada suatu hal yang menarik perhatian saya, positif ataupun negatif, maka hal itu akan terus menjadi perhatian saya dan seluruh hidup saya akan terpusat pada hal itu. Sekali lagi, saya menyadari bahwa hal ini bukanlah hal yang baik dan saya juga sedang berusaha untuk mengubahnya.
Begitupun dalam bidang ketertarikan lawan jenis. Saya terobsesi dengan penampilan fisik. Dalam benak saya, wanita yang menjadi pasangan hidup saya harus memiliki nilai 8 ke atas dalam skala misoginis, seolah hanya penampilan saja yang menjadi nilai dan keunggulan dari seorang wanita. Mungkin karena saya ingin membuat iri pria-pria lain, mungkin karena saya ingin semua wanita yang pernah menolak saya menyesal, atau mungkin saya hanya ingin memiliki simbol untuk menutupi semua kerendahan diri saya, saya juga tidak tahu, yang jelas obsesi yang menjijikkan ini begitu terpatri di benak saya. Dan kebetulan Miss X tidak memenuhi ekspektasi saya dari segi fisik, walaupun dari segi psikologis, hobi, minat, kenyamanan saat ngobrol, kecocokan, dan lain-lain, saya merasa sudah menemukan belahan jiwa saya. Waktu itu saya juga berpikir, saya masih muda, saya bahkan belum berusia 29 tahun, usia yang konon merupakan puncak kematangan seorang pria. Mungkin saya masih bisa menemukan wanita lain yang lebih dapat memenuhi obsesi saya, begitu simpul saya waktu itu.
Akhirnya, saya memutuskan untuk mundur perlahan dari hubungan ini. Saya takut dia juga memiliki ketertarikan yang sama terhadap saya, dan apabila saya terus melanjutkan mendekati dia, saya khawatir saya hanya akan memberikan dia harapan palsu dan saya akan melukai hatinya. Mungkin anda berpikir, "Yah kalau gitu tetap berteman aja sama dia, coba ajak ketemuan kek, ga perlu langsung ngejauhin juga kali!" Sekali lagi saya memiliki pola pikir absolut, ya dan tidak, tidak ada daerah abu-abu. Kebetulan waktu itu dia juga jadi jarang mengontak saya, mungkin dia dapat merasakan saya yang tiba-tiba menjaga jarak dengannya. Maka jadilah hubungan kami semakin renggang, akhirnya kami berdua benar-benar hilang kontak, dan menempuh jalan hidup kami masing-masing.
Perlahan saya mulai melupakan dia dan menjalani hidup saya seperti biasa. Beberapa kali saya jatuh hati kepada seorang wanita, dan beberapa kali pula saya patah hati. Tahun demi tahun berlalu, sekarang saya sudah melewati usia puncak kematangan seorang pria dan status single saya masih belum juga tergoyahkan. Mungkin saya harus mengganti status saya dari single menjadi desperate.
Beberapa hari lalu saya sedang menjelajah media sosial, entah mengapa tiba-tiba saya teringat dengan Miss X. Bagaimana kabarnya? Bagaimana perkembangan karirnya? Apakah hidup memperlakukan dia dengan baik? Kemudian saya membuka halaman profilnya dan muncullah foto-fotonya. Walau hanya lewat foto, saya bisa melihat kalau dia masih seperti dulu. Dia masih seorang wanita yang lugu, sederhana, dan bersahaja. Saya agak terpana saat melihat foto-foto kegiatannya. Selain masih aktif menulis, dia juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan sosial dan membaktikan profesinya sebagai dokter dengan melakukan pelayanan ke daerah-daerah terpencil. Saat melihat dirinya yang sedang bermain dengan anak-anak ataupun melayani pasien, walau hanya lewat foto, saya dapat merasakan dari raut wajahnya terpancar kehangatan dan ketulusan, hal yang merupakan komoditas langka di zaman modern ini. Singkatnya, masih persis seperti dulu, dia memiliki semua yang seorang pria butuhkan dari seorang wanita. Butuh, bukan ingin. Dan masih persis seperti dulu, saya merasa kalau dia adalah versi perempuan (dan normal) dari diri saya.
Seketika timbul hasrat dalam diri saya untuk mencoba menghubunginya kembali, dan mungkin, melanjutkan apa yang waktu dulu terhenti begitu saja. Tapi hasrat itu langsung sirna ketika saya melihat foto terakhir yang ada di deretan foto-fotonya. Tanggal yang tertera di foto itu baru beberapa hari sebelumnya. Di situ terlihat Miss X sedang berada dalam dekapan seorang pria. Di jari manisnya terselip sebuah cincin berwarna perak. Miss X telah resmi memberikan hatinya kepada seorang pria.
Seketika perasaan berkecamuk dalam batin saya. Di satu sisi saya berpikir, "Yah sudahlah, dia juga tampak sangat bahagia, dan pria yang ada di sebelahnya juga tampaknya seorang pria baik-baik." Tapi di sisi lain saya berpikir, "Tunggu sebentar, bagaimana kalau wanita yang ada di dekapan pria itu adalah belahan hati saya yang selama ini telah saya cari? Bagaimana kalau wanita yang di jari manisnya terselip cincin perak dan tersenyum bahagia itu adalah tulang rusuk saya yang hilang?" Nafas saya tiba-tiba terputus dan sesaat saya seperti benar-benar mendengar suara yang menggema dari atas dan berkata, "Sudah terlambat."
Yap, sudah terlambat. Apapun perasaan saya padanya, semua sekarang tak penting lagi. Apabila saya dulu pernah berpikir, "Hey, mungkin kalau akhirnya saya tidak menemukan lagi wanita yang lebih baik dari dirinya, saya dapat selalu kembali kepadanya, dia akan selalu menunggu saya dengan hati yang terbuka." Nope. Salah total. Nol besar. Dia sudah bersanding dengan pria lain, dan saya hanya bisa gigit jari kaki. Tak lama lagi saya akan melihat fotonya menggendong seorang bayi, buah cinta dia dan sang pria, sementara saya hanya bisa menggendong keponakan saya. Nasi sudah menjadi bubur, dan buburnya bahkan sudah basi.
Dari pengalaman ini, saya mendapat tiga pelajaran berharga. Pertama, kecuali anda memiliki tampang seperti Ryan Gosling, milikilah ekspektasi yang realistis. Kedua, kecantikan bukanlah segalanya, kecocokan emosional, psikologis, dan spiritual jauh lebih penting dari penampilan fisik semata. Ketiga dan sekaligus yang paling relevan dengan judul artikel ini adalah, kedewasaan adalah tentang berani mengambil keputusan dan siap menerima konsekuensinya.
Saat masih kecil, ketika kita berbuat salah, kita dapat selalu bersembunyi di balik kedua orang tua kita. Di bangku sekolah, bila kita berbuat salah, orang tua kita akan dipanggil oleh pihak sekolah. Tapi di dunia kerja, bila kita berbuat salah, kita akan langsung dipecat oleh bos kita. Kedewasaan dimulai saat kita menyadari bahwa hidup penuh dengan pilihan. Pilihan yang benar akan membawa kita pada kesuksesan, sementara pilihan yang salah akan membawa kita pada pembelajaran. Tapi benar atau salah, kitalah yang menanggung konsekuensi dari pilihan yang kita buat.
Saat Miss X jatuh ke dekapan pria lain, saya tidak bisa menyalahkan siapapun selain diri saya sendiri. Ini bukan salah sang pria, nasib, apalagi Miss X. Pola pikir dan ekspektasi yang tidak realistis lah yang membuat saya kehilangan wanita yang mungkin merupakan pasangan yang tepat dan seharusnya dapat memberikan kebahagiaan untuk saya.
Saya punya dua pilihan, tetap mempertahankan perspektif rigid dan obsesif yang akhirnya merugikan diri saya sendiri, atau belajar memperluas pergaulan dan mengubah perspektif saya. Pilihan apapun yang saya buat, saya sendirilah yang akan menanggung konsekuensinya.
Ini bukanlah hanya soal pasangan hidup. Mungkin anda juga pernah dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Tetap melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak begitu anda suka, atau mencoba membuka usaha sendiri. Mungkin ada hal-hal yang sebenarnya dari dulu ingin anda lakukan, tapi belum berani anda wujudkan. Mungkin anda ingin menulis buku, berpetualang mengelilingi dunia, atau menjadi sutradara film. Mungkin passion yang ingin anda ikuti memiliki banyak resiko, tapi tidak mengikuti passion anda juga memiliki resikonya sendiri, hidup selamanya dalam ketidak puasan dan mungkin meninggal dengan penyesalan.
Mungkin anda sudah lama ingin rutin berolahraga dan menjalankan diet sehat. Mungkin anda sudah lama ingin berhenti merokok. Mungkin ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang sudah lama ingin anda perbaiki. Mungkin sudah lama anda ingin mengucapkan terima kasih pada kedua orang tua anda. Atau mungkin seperti saya, sudah lama anda ingin mengutarakan cinta kepada seseorang. Lakukan atau tidak lakukan, pilihan apapun yang anda buat, anda sendirilah yang menanggung konsekuensinya. Maka, pilihlah dengan bijak.
NB: Tulisan ini saya dedikasikan untuk 325, saya doakan kebahagiaan selalu menjadi milikmu.
Comments
Post a Comment