Mengapa Saya Menulis -Bagian 1-

Seorang penulis terkenal pernah berkata, "Jika anda ingin membangun sebuah kapal, janganlah anda mengumpulkan para pekerja, membagikan mereka tugas, dan menyuruh mereka untuk mencari kayu di hutan. Tapi, ajarlah mereka untuk berimaji dan memandang jauh ke lautan luas yang tak berujung."

Maksud dari penulis tersebut adalah, pekerjaan seberat dan serumit apapun akan terasa ringan dan bisa diselesaikan kalau anda tidak terfokus pada detail dan tugas yang harus dilakukan, tapi pada motivasi atau cita-cita yang menjadi alasan mengapa anda ingin melakukan pekerjaan tersebut. Karena itu, saya ingin menggunakan kesempatan di prelude, atau tulisan pertama dari blog ini, untuk menceritakan alasan yang mendorong saya untuk membuat blog ini.

Sejak kecil, saya sudah bergulat dengan kondisi yang dalam dunia medis disebut sebagai anxiety disorder atau gangguan cemas dalam bahasa Indonesia. Cemas yang dimaksud di sini bukanlah cemas seperti saat sedang menunggu hasil ujian keluar, menunggu pengumuman diterima kerja, atau menunggu panggilan telepon dari sang kekasih. Atau mungkin...sebenarnya perasaan cemasnya sama seperti itu, hanya ironisnya, perasaan itu tetap muncul walau tidak ada hasil ujian, pengumuman kerja, ataupun sang kekasih yang menanti.

Perasaan was-was dan gelisah yang anda rasakan di momen-momen tertentu yang menegangkan di hidup anda, saya rasakan hampir setiap saat, tanpa ada pemicu apapun yang signifikan. Dan perasaan itu bisa muncul bahkan di tempat di mana saya merasa aman dan nyaman sekalipun, seperti di kamar saya, tempat di mana saya seharusnya terlindungi dari marabahaya apapun. Jadi bisa anda bayangkan, perasaan tidak nyaman yang saya rasakan secara konstan tersebut, rasanya wajar kalau pada akhirnya memberikan dampak dan hambatan yang serius di hidup saya.

Mungkin anda bertanya dalam hati, "Hei, saya juga terkadang suka merasakan gelisah yang tak menentu seperti itu, apa jangan-jangan saya juga punya penyakit ini yah?" Menurut World Health Organization, definisi kesehatan jiwa adalah:
1. Merasa sehat dan bahagia.
2. Mampu menghadapi tantangan hidup.
3. Dapat menerima orang lain sebagaimana adanya.
4. Mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Karena itu, untuk menjawab pertanyaan anda, anda dapat memeriksa diri anda sendiri, apakah anda memiliki gangguan atau masalah pada keempat kriteria di atas. Jika perasaan gundah yang anda rasakan tidak sampai menimbulkan gangguan pada keempat hal itu, besar kemungkinan anda hanya sedang galau.

Sayangnya bagi saya, keempat hak istimewa yang seharusnya bisa dinikmati oleh setiap orang itu, sudah harus dicabut dari saya sejak saya masih sangat kecil. Mungkin anda bertanya, "Kenapa orang malang ini bisa mengalami hal tersebut?" "Apa penyebabnya?" Jawaban dari pertanyaan itu cukup panjang dan membutuhkan artikel tersendiri untuk menceritakannya. Akan saya ceritakan tentang hal tersebut di lain kesempatan.

Penyakit ini sendiri memiliki beberapa spektrum, dan saya cukup beruntung untuk memiliki beberapa spektrum tersebut sekaligus.

Spektrum yang pertama adalah generalized anxiety disorder a.k.a gangguan cemas menyeluruh. Kurang lebih seperti yang saya ceritakan di atas, ini adalah kondisi di mana saya merasakan perasaan gelisah, was-was, dan tidak tenang hampir setiap saat, tanpa ada pencetus apapun. Intensitas cemasnya tidak terlalu hebat, tapi cukup (sangat) mengganggu dan dapat membuat saya sulit untuk berpikir, berkonsentrasi, dan menyelesaikan pekerjaan.

Spektrum berikutnya disebut sebagai panic attack a.k.a serangan panik. Ini adalah blitzkrieg dalam dunia kecemasan. Bayangkan anda sedang duduk di kelas, memperhatikan dengan khidmat guru anda sedang mengajar, kemudian sang guru memanggil nama anda, atau mungkin hanya sekedar melihat ke arah anda. Dan seketika, anda merasakan jantung anda berdebar kencang seperti mau meledak, nafas anda tersengal-sengal seperti habis lari keliling Indonesia, anda berasa seperti kehilangan kendali pada diri anda dan lingkungan sekitar, dan anda merasa hal yang -BEGITU MENGERIKAN SAMPAI SUSAH DIGAMBARKAN TAPI BISA DIBILANG MERUPAKAN PERPADUAN ANTARA KIAMAT DAN KEMATIAN- akan segera terjadi sesaat lagi pada anda. Dan saat semuanya sudah memuncak, anda jatuh pingsan, atau muntah, atau menangis, tepat di kelas tempat anda berada dan semua teman anda menyaksikan. Singkat cerita, itu bukanlah pengalaman yang ingin anda alami saat anda bahkan belum paham konsep gambar diri dan kepercayaan diri.

Spektrum selanjutnya adalah Obsessive-Compulsive Disorder a.k.a OCD (bukan, ini bukan dietnya Deddy Corbuzier). Saya begitu terobsesi dengan angka tiga sampai-sampai saya tidak bisa berhenti memandangi suatu objek atau benda tertentu kalau saya belum melihatnya sebanyak tiga kali. Dan kadang bila saya sudah melihatnya sebanyak tiga kali, saya tetap harus melihatnya sebanyak tiga kali lagi. Dan setelah itu selesai, saya tetap harus mengulangi siklus tersebut sejumlah tiga kali lagi. Saya kadang tidak bisa keluar dari dapur karena belum yakin kalau saya sudah memastikan dengan pedoman "Tiga Kali atau Mati" bahwa kompor telah saya padamkan. Bahkan, saya acap kali kesulitan dalam menyelesaikan membaca sebuah buku karena saya begitu terobsesi untuk memandangi suatu kalimat atau kata tertentu sampai-sampai saya tidak bisa melanjutkan ke kalimat berikutnya.

Walau demikian, ketiga spektrum tersebut sudah berhasil saya kendalikan saat saya beranjak dewasa dan tidak terlalu memiliki dampak yang signifikan lagi dalam hidup saya. Ketiga spektrum itu hanyalah remeh-temeh dibanding spektrum terakhir yang dampaknya masih sangat mengganggu dan menghambat hidup saya secara dramatis sampai sekarang. Di hadapan spektrum yang terakhir ini, ketiga spektrum di atas hanyalah seperti gambar pemandangan yang sering saya buat saat masih kecil dibandingkan dengan lukisan Mona Lisa.

Spektrum yang terakhir adalah social phobia a.k.a fobia sosial a.k.a isolasi sosial a.k.a pembunuh sosial a.k.a penjamin untuk depresi dan menderita sepanjang hidup a.k.a alasan utama mengapa saya kadang ingin mengakhiri hidup ini. Ini adalah Adolf Hitler dalam dunia kecemasan yang saya alami. Mungkin anda bertanya, "Memangnya apa kelebihan spektrum yang ini dibanding spektrum yang lain?" Saya akan menjawab pertanyaan anda dengan satu kalimat di paragraf di bawah.

Manusia adalah makhluk sosial. Titik. Tidak pakai koma. Atau tanda sambung lainnya. Dalam sejarah perkembangan manusia purba, Homo sapiens bisa mengungguli dan akhirnya mendorong Pithecanthropus erectus yang bertubuh lebih besar dan kuat ke dalam kepunahan, karena Homo sapiens memiliki kemampuan yang lebih baik dalam bersosialisasi dan berorganisasi. Dalam dunia fauna, hewan yang mampu bergabung dalam kelompok besar akan memiliki peluang lebih besar untuk bertahan hidup dibanding hewan yang terpisah dari kawanannya. Ketika saya masih sekolah, pria yang menjadi saingan saya dalam memperebutkan sang wanita idaman berhasil mengungguli saya karena dia lebih populer dan memiliki lebih banyak teman. Kalau dari segi Alkitabiah, salah satu perintah Tuhan yang utama adalah, "Beranak cuculah dan penuhi bumi!", bukan "Menyendirilah kamu di pojokan dan hidup dalam kesepian!"

Dari segi kesehatan fisik, mental, psikologis, maupun spiritual, manusia diciptakan untuk hidup solider, bukan soliter. Coba bayangkan, suatu waktu anda memutuskan untuk memakai celana dalam di luar. Anda berpikir, "Batman dan Superman juga seperti itu, dan mereka menjadi idola banyak orang." Bila anda mempunyai komunitas atau teman yang waras, mereka akan mengingatkan anda dengan lembut, "Lu gila yah!!! Cepet masuk rumah dan pake celana yang bener!!!" Tapi bila anda hidup sendiri dan tak punya siapapun untuk mengingatkan anda, anda akan keluar rumah dengan celana dalam di luar, dan kemudian bertanya-tanya kenapa orang memandangi, menertawakan, dan bahkan mungkin menghina anda. "Saya sudah berusaha berpenampilan terbaik menurut saya, dan mereka malah memperlakukan saya seperti ini, dunia pasti sudah ditakdirkan untuk membenci saya," mungkin begitu pikir anda. Dan akhirnya anda jatuh ke dalam paranoid dan delusi.

Pembahasan tentang social anxiety yang saya alami ini cukup panjang dan membutuhkan artikel tersendiri untuk menceritakannya. Akan saya ceritakan tentang hal tersebut di lain kesempatan. Tapi dalam kaitannya dengan status artikel ini sebagai prelude di blog saya, saya akan mencoba menjelaskannya secara singkat. Namun karena tulisan ini sudah terlalu panjang, anda dapat membaca kelanjutannya di tulisan saya berikutnya.


Comments

Popular posts from this blog

Just Say No, Goddammit!!!

Balada Laptop dan Speaker

Pendapat Saya tentang Agama -Bagian 1-