Mengapa Saya Menulis -Bagian 2-
Bayangkan suatu saat anda kelaparan setengah mati, dan kebetulan ada sepotong pizza yang menggiurkan tergeletak di hadapan anda. Pizza tersebut dilapisi keju yang tebal, potongan sosis dan daging yang menggemaskan bertebaran di atasnya, bawang dan sayuran yang segar seakan mengajak anda berdansa, dan pinggiran roti yang garing seakan menantang anda untuk menggigitnya. Dan yang paling parah, pizza itu masih hangat!!! Asapnya yang baru keluar dari oven mengepul dan anda tidak akan bisa bersembunyi dari baunya yang menggelitik hidung dan lidah anda. Anda bisa menutup mata anda dan pura-pura tidak melihatnya, tapi anda tidak bisa bersembunyi dari baunya dan pura-pura tidak menciumnya.
Dalam kondisi itu, hanya ada satu langkah logis yang dapat diambil, yaitu melahapnya. Tapi, entah bagaimana, anda tidak bisa melakukannya. Tidak ada yang melarang anda untuk memakannya, tangan anda tidak sedang terikat, dan mulut anda juga tidak sedang dilakban. Penerangan di ruangan itu cukup, pizza itu juga diletakkan di atas piring yang bersih, tidak ada alasan apapun bagi anda untuk tidak menyambar dan melahap pizza itu. Tapi anda tidak bisa melakukannya, pokoknya anda tidak bisa.
Kira-kira seperti itulah hidup dengan social anxiety. Anda kesepian dan logika anda mengatakan kalau anda butuh teman dan komunitas. Tapi ketika anda berada di hadapan orang-orang yang seharusnya bisa menjadi teman anda, mulut anda terkunci, pikiran anda menjadi tidak karuan, badan anda terasa kaku, ada rasa ketidak nyamanan yang sukar dijelaskan yang membuat anda sulit terbuka untuk orang lain. Alih-alih membuat teman, akhirnya orang-orang malah mencap anda sebagai "Si aneh", "Si kaku", ataupun "Si kikuk", atau paling tidak, itulah asumsi yang ada di pikiran anda.
Keadaan makin parah ketika di antara orang-orang itu ada wanita yang menarik perhatian anda. Logika dan insting anda seolah berkata, "Ajak dia ngomong, bodoh!!!" Anda mencoba menghampirinya, tapi di hadapannya, anda tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Yang bisa keluar dari mulut anda hanyalah "ga..gu..ga". Bahkan mungkin tidak ada bunyi apapun yang keluar dari mulut anda, sehingga anda hanya bisa melotot sambil menganga di hadapannya seperti orang idiot. Dan ketika wanita itu pergi, anda berpikir kalau wanita itu sekarang tahu kalau anda ternyata hanyalah seorang bodoh. Dan bukan hanya dia, orang-orang lain di ruangan itu pun akhirnya ikut memperhatikan anda dan mengetahui bahwa anda seorang bodoh. Bahkan, orang-orang yang lewat di depan ruangan dan di depan gedung itupun juga ikut menyadari bahwa anda seorang bodoh.
Hal itu terus terjadi. Anda mencoba untuk pindah ke komunitas yang berbeda, dengan orang-orang yang berbeda, berharap akan memberikan hasil yang berbeda. Tapi perubahan tidak kunjung terjadi. Anda seperti pindah dari satu penjara ke penjara lain. Pemandangannya berbeda, tapi anda tetap berada di dalam penjara. Akhirnya anda menyerah, dan memutuskan untuk tinggal di penjara yang paling anda kenal, kamar anda sendiri.
Saya telah hidup dengan kondisi ini selama dua dekade yang sepi dan merana. Dan beberapa tahun lalu, saat saya lulus kuliah dari Fakultas Kedokteran, saat saya memutuskan untuk mengatasi masalah ini dengan serius, saya terkena penyakit dystonia, sejenis penyakit parkinson. Penyakit ini tidak akan membunuh saya, tapi penyakit ini makin membunuh kehidupan sosial saya. Penjelasan tentang dystonia ini cukup panjang dan membutuhkan artikel tersendiri untuk menceritakannya. Sekali lagi, akan saya ceritakan tentang hal tersebut di lain kesempatan.
Saat sakit, saya harus menjalani terapi alternatif yang keampuhannya dipertanyakan, tapi bagi saya, hanya itulah satu-satunya pilihan yang saya punya. Saya sudah mencoba ke beberapa dokter spesialis dan tidak ada yang bisa memberikan hasil yang memuaskan. Saat sakit, saya melampiaskan semua masalah saya, fisik dan mental, ke dystonia ini. "Kalau penyakit ini sudah sembuh, semua masalah emosi dan mental saya juga akan ikut sembuh," begitu pikir saya.
Teman-teman saya mencoba mengingatkan kalau saya tidak perlu menunggu hingga dystonia ini sembuh untuk kembali melanjutkan hidup saya. Tapi hal itu sangat sulit bagi saya. Dalam kondisi sehatpun, saya memiliki masalah kepercayaan diri yang serius, apalagi setelah menderita penyakit aneh bernama dystonia ini. Saya mengabaikan teman-teman saya, saya menolak untuk melanjutkan hidup ini sampai dystonia saya sembuh total. Dan saat teman-teman saya mengingatkan saya dengan lebih keras, saya memilih untuk meninggalkan mereka. Mereka bersikeras kalau saya memiliki masalah yang jauh lebih serius dan mendalam dari sekedar dystonia. Mungkin mereka berpikir kalau itu hanyalah masalah minder atau kurang percaya diri, tapi sebenarnya dalam hati saya tahu kalau itu adalah social anxiety yang menunjukkan taringnya. Seperti kanker kejiwaan, dia tidak pernah hilang, terus tumbuh dalam diri saya.
Setelah lima tahun menjalani terapi, akhirnya dystonia saya sembuh. Tapi hal itu justru malah membuktikan kebenaran perkataan teman-teman saya sekaligus ketakutan terburuk saya. Social anxiety saya masih ada, malah menjadi semakin parah setelah ditambah dengan trauma sosial selama saya sakit dystonia. Saya malah semakin takut untuk bertemu dengan orang atau pergi ke tempat umum atau bahkan keluar dari rumah. Saya merasa semua orang mengawasi dan memperhatikan saya dengan pandangan negatif. Saya merasa mereka mengatai saya di belakang saya. Saya jatuh ke dalam kondisi paranoid. Saat saya pikir keadaan tidak akan menjadi lebih buruk lagi, saya malah merasakan ketakutan dan kecemasan yang jauh lebih hebat dari sebelumnya.
Itulah kenapa saya memutuskan untuk menulis. Menurut beberapa pakar kejiwaan, menulis adalah salah satu terapi yang bagus untuk masalah anxiety. Menurut saya sendiri, hal itu memang sangat logis. Dalam anxiety disorder pikiran-pikiran negatif bermain dalam kepala anda. Pikiran-pikiran itu bermunculan dengan sangat cepat sampai-sampai anda sulit membedakan mana pikiran yang negatif dan mana yang bukan, mana pikiran yang irasional dan mana yang rasional, mana yang hanya merupakan buah dari trauma masa lalu dan mana yang merupakan kenyataan saat ini. Dengan menulis, anda akan dapat memvisualisasikan dengan jelas isi pikiran anda dan memilah, mana yang positif dan mana yang negatif. Jadi alasan utama saya menulis adalah untuk keselamatan kewarasan saya.
Alasan lain adalah karena saya merasa bahwa menulis memang merupakan bakat saya yang utama. Sejak kecil, saya sudah memiliki waham kebesaran kalau saya sudah ditakdirkan untuk melakukan hal yang besar di hidup ini. Untuk membawa perubahan dan membuat dunia ini menjadi lebih baik dengan kehadiran saya. Mungkin ambisi itu berakar dari rasa ketertolakan dan kesepian yang membuat saya ingin dikenal orang banyak. Akibatnya, saya selalu mencari dalam bidang apa saya bisa membuat karya yang fenomenal tersebut. Bakat musik saya biasa-biasa saja, saya terlalu kaku dalam berakting untuk menjadi bintang film, dan mungkin satu-satunya bidang di mana saya bisa mewujudkan impian saya itu adalah lewat menulis.
Maka itulah saya membuat blog ini. Tempat di mana saya bisa mencurahkan seluruh isi hati dan pikiran saya. Dari ambisi terdalam sampai fantasi terliar. Di blog ini, tidak ada salah atau benar, karena saya selalu benar. Saya berharap dalam usaha saya untuk mengutarakan unek-unek, mungkin ada satu atau dua hal yang bisa anda petik dan menjadi inspirasi bagi anda. Atau bagi anda yang sudi untuk bertukar pikiran, silakan meninggalkan pesan di kolom komentar.
Akhir kata, selamat menikmati, dan hope you enjoy :)
Comments
Post a Comment