Religi atau Sains?

"Apakah Tuhan itu benar-benar ada?" Itu adalah pertanyaan yang sudah lama menjadi enigma di benak saya. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar lain, seperti yang juga ditanyakan oleh Dream Theater di lagu The Spirit Carries On, yakni "Dari manakah saya berasal?" "Kenapa saya ada di dunia ini?" dan "Ke manakah saya pergi setelah meninggal?" semuanya tergantung pada jawaban dari pertanyaan pertama di paragraf ini.

Jika jawabannya adalah "Ya", maka jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikutnya akan menjadi mudah, yaitu "Saya adalah ciptaan Tuhan", "Saya berada di dunia untuk melakukan pekerjaan Tuhan", dan "Setelah meninggal, saya akan ke surga bila telah mengabdi dengan baik pada Tuhan selama di dunia ini, dan ke neraka jika tidak". Semuanya akan menjadi sederhana, ya dan Amin.

Tapi, bagaimana jika jawabannya adalah "Tidak"? Pertanyaan-pertanyaan berikutnya akan menjadi lebih sulit untuk dijawab. "Saya adalah...hasil kecelakaan kosmos dan kebetulan evolusi?" "Saya berada di dunia ini untuk memenuhi semua ambisi pribadi, hasrat, dan mencari kesenangan serta kenikmatan sebanyak-banyaknya?" dan "Setelah meninggal, saya akan menuju ke kekosongan yang tiada berujung, dan justru itulah yang mengilhami jawaban sebelumnya". Secara ironis, semuanya akan menjadi lebih kompleks dan lebih berpotensi untuk menimbulkan kekacauan, karena semua orang akan hidup dengan prinsip "Setiap orang untuk diri mereka masing-masing".

Saya sendiri dibesarkan dalam keluarga Kristen yang cukup taat dan dididik di lembaga pendidikan Kristen yang cukup ketat, serta diajar untuk menerima dan mengakui keberadaan Tuhan sejak kecil. Sama seperti hal lainnya yang mudah membekas pada pikiran seorang anak yang masih lugu dan naif, indoktrinasi ini membuat imaji bahwa ada sosok di atas sana yang Maha Kuasa, Maha Tahu, dan Maha Adil, mengawasi setiap langkah yang saya ambil di hidup ini, dan setiap langkah itu akan berkonsekuensi pada ke mana saya akan menghabiskan keabadian setelah meninggal, begitu tertanam di pikiran saya. Saya dikondisikan untuk menerima hal itu sebagai kebenaran absolut dan menjadikannya sebagai pedoman dalam menjalani hidup.

Namun, seiring saya beranjak dewasa, lembaga pendidikan yang sama juga mengajarkan saya untuk berpikir secara kritis dan mendalam. Semua hal patut dipertanyakan, jangan pernah menerima pernyataan apapun sebagai kebenaran begitu saja. Setiap hipotesis harus bisa diuji dan dibuktikan validitasnya dengan metode ilmiah yang empiris dan rasional. Inilah awal mula perkenalan saya dengan sains. Sains inilah yang membuat peradaban manusia bisa berkembang dari zaman kegelapan menuju abad pencerahan dan akhirnya menjadi era teknologi seperti sekarang. Tanpa sains, kita masih akan percaya kalau bumi adalah pusat alam semesta dan penyakit disebabkan oleh roh jahat di dalam tubuh manusia.


Ironisnya, pola pikir kritis yang dibutuhkan untuk memahami sains, pada akhirnya, mau tak mau, suka tak suka, sengaja atau tak sengaja, membuat saya juga harus berpikir kritis tentang keberadaan dari sosok yang selama ini saya terima secara absolut, yaitu Tuhan. Apalagi ditambah dengan banyaknya hal-hal buruk, tragedi, dan ketidak adilan yang terjadi di dunia ini, termasuk pada diri saya sendiri, membuat saya semakin serius mempertanyakan validitas dan keabsahan dari hal yang selama ini menjadi pegangan hidup saya, yakni religi.


Religi versus sains ternyata bukan merupakan isu yang asing, tapi sudah menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan cendekiawan dunia. Stephen Hawking, salah satu fisikawan paling tersohor di dunia yang kebetulan juga merupakan seorang ateis, pernah berkata bahwa perbedaan yang paling fundamental antara religi dan sains adalah religi dibangun berdasarkan otoritas, sementara sains dibangun berdasarkan observasi dan rasionalitas. Dan rasionalitas inilah yang tampaknya paling sering diserang oleh kaum ateis. Mereka amat mempersoalkan religi yang acap kali membuat pernyataan-pernyataan bombastis dan sukar untuk diterima dengan nalar, apalagi dibuktikan kebenarannya, namun kita tetap harus mempercayainya, semata atas dasar iman. Bagi mereka, tunduk pada otoritas religi bagaikan tunduk pada penjajahan kebebasan berpikir rasional.


Walau demikian, banyak pula cendekiawan yang terlepas dari prestasinya di bidang sains, tetap memiliki kepercayaan yang kuat pada religi. Contohnya adalah Isaac Newton, salah satu ahli fisika dan matematika paling berpengaruh sepanjang masa yang terkenal dengan mahakaryanya, Principia. Beliau pernah berucap, "Gravitasi dapat menjelaskan pergerakan planet-planet, tapi ia tak dapat menjelaskan siapa yang dari semula membuat planet-planet itu bergerak."


Berangkat dari pandangan Isaac Newton, saya percaya kalau sains dan religi tidak perlu bertentangan. Saya pribadi percaya dengan keberadaan Tuhan. Jauh di dalam lubuk hati, intuisi saya mengatakan bahwa ada kebaikan dan kekuatan besar yang menjadi fondasi dari segala sesuatu di alam semesta ini, termasuk kemampuan berpikir rasional. Sains tidak berada sejajar berdampingan dengan religi, apalagi di atasnya, tapi sains berada di bawah religi. Sains berada di dalam ruang lingkup religi, bahkan sains sendirilah bukti bahwa religi itu ada. Berikut saya akan menjelaskan beberapa teori yang dapat mengklarifikasi pendapat saya.


Yang pertama adalah teori kreasi. Coba anda pegang dan amati baik-baik smartphone atau laptop yang anda gunakan untuk membaca tulisan ini. Perhatikan layar monitornya, tombol-tombol keyboard-nya, lampu-lampunya yang berkedip. Kemudian coba anda renungkan sejenak kemudahan dan manfaat yang diberikan gawai anda ini. Anda dapat mendengarkan lagu favorit, anda dapat menonton film apapun yang ingin anda tonton, dan yang paling penting, anda dapat mengakses internet, tempat di mana anda bisa mendapatkan informasi apapun yang ingin anda cari. Cara menulis lagu, cara membuat film, cara menulis artikel. Bahkan jika anda mau, anda dapat mengetahui di mana wanita yang sedang anda taksir saat ini berada lewat akun Instagram-nya, dan kemudian menguntitnya. Itu jika anda mau. Tapi saya sih tidak menyarankannya.


Intinya adalah, jika anda melihat kecanggihan gawai yang ada di hadapan anda, bisakah anda membayangkan kalau gawai itu tercipta begitu saja, melalui proses ketidak sengajaan dan secara acak, tanpa adanya sosok intelijen dan kreatif yang membuat gawai itu?


Sekarang carilah cermin terdekat dan lihatlah tubuh anda sendiri. Mata anda bekerja dengan menggunakan konsep refleksi dan refraksi cahaya, bahkan sebelum manusia memahami apa itu cahaya. Jantung dan pembuluh darah anda mampu memompa darah ke seluruh tubuh anda, bahkan sebelum manusia memahami prinsip tekanan. Otak dan sistem syaraf di tubuh anda bekerja dengan menggunakan neurotransmiter yang dapat menghantarkan impuls listrik, bahkan sebelum manusia memahami cara kerja listrik. Malahan, saat ini anda secara aktif tersadar penuh dan bahkan memutuskan untuk melakukan aktivitas membaca tulisan ini, karena anda memiliki kesadaran (consciousness). Suatu hal yang terkesan sederhana dan acap kali lupa anda syukuri, tapi sebenarnya merupakan hal yang sangat rumit, kompleks, dan sains masih perlu beberapa dekade lagi untuk dapat mereplikasinya.


Baik dari segi intuisi maupun rasional, rasanya sulit untuk mencerna kalau sesuatu sekompleks manusia bisa tercipta begitu saja tanpa adanya sang pencipta di belakang layar.


Yang kedua adalah teori keteraturan. Pernahkah anda mendengarkan anak kecil yang iseng memencet-mencet tuts piano? Anda akan mendengar bunyi "tang-ting-tung" yang sumbang dan rasanya anda ingin segera menjauhkan anak itu dari piano tersebut serta segera mengirimnya ke sekolah musik terdekat. Sekarang, pernahkah anda mendengarkan Freddie Mercury memainkan lagu Bohemian Rhapsody atau Axl Rose memainkan lagu November Rain? Saat mendengar dua lagu tersebut, tentunya anda dapat yakin kalau orang yang duduk di bangku piano adalah orang yang bukan hanya memiliki kuasa untuk menggerakkan jari-jemarinya, tapi juga memiliki pengetahuan akan teori musik serta kebijaksanaan untuk membedakan mana suara musik yang merdu dan harmonis serta mana yang dapat membuat orang tambah stres.


Di sinilah letak ironinya. Banyak orang tidak menyadari kalau sains sendiri adalah bukti dari keberadaan Tuhan. Alam semesta kita penuh dengan keteraturan. Hukum-hukum keteraturan itulah yang coba dijelaskan lewat cabang ilmu fisika. Sementara matematika tak lain dan tak bukan merupakan bahasa tertulis yang digunakan manusia untuk mengkomunikasikan keteraturan itu. Coba bayangkan seandainya suatu saat anda memutuskan lompat dari atap rumah dan bukannya jatuh ke bawah anda malahan terus terbang ke angkasa, tentunya hukum fisika yang berlaku sekarang tidak akan dapat digunakan. Atau misalnya suatu hari anda dan seorang teman anda memutuskan untuk mengambil foto selfie dan ternyata ada tiga orang yang muncul di hasil foto tersebut. Tentunya hukum matematika dasar akan menjadi tidak berlaku dan dunia ini juga akan menjadi tempat yang agak mengerikan.

Sains tak lain dan tak bukan hanyalah merupakan instrumen yang digunakan manusia untuk memahami keteraturan yang memang sudah ada di alam semesta ini. Tak lebih dari itu. Dan tidak berlebihan rasanya kalau mengatakan bahwa sosok yang menciptakan alam semesta ini tidak hanya berkuasa, tapi juga memiliki hikmat dan kebijaksanaan yang cukup untuk membuat dunia yang berjalan dengan teratur dan memungkinkan manusia untuk menguasainya.

Berhubung saya bukan ahli teologi ataupun lulusan fakultas MIPA, saya tidak akan lebih dalam membahas soal hubungan antara religi dan sains. Saya sebenarnya hanya ingin membuat tulisan ini sebagai pembuka untuk tulisan saya yang sebenarnya, yaitu cara saya mencoba memahami kebenaran dan keberadaan Tuhan lewat pengalaman hidup saya sehari-hari, baik maupun buruk. Karena ternyata (rasanya) saya juga dapat menemukan Tuhan dalam setiap tragedi dan perjuangan yang saya hadapi di hidup ini. Tapi karena keasyikan, tulisan ini menjadi terlalu panjang dan anda harus menunggu cerita tersebut di tulisan saya yang berikutnya.

Saya akan menutup tulisan ini dengan sebuah kutipan dari Russell M. Nelson, "Tidak ada konflik antara religi dan sains. Konflik hanya timbul dari pemahaman yang kurang terhadap salah satu atau keduanya".

Comments

Popular posts from this blog

Just Say No, Goddammit!!!

Balada Laptop dan Speaker

Pendapat Saya tentang Agama -Bagian 1-